Fenomena Flexing di Media Sosial: Perspektif Sosial, Ekonomi, dan Filosofis

Oleh.  Dr. H. Ahyar Wahyudi, S.Kep. Ns., M.Kep., CISHR, FISQua, FRSPH, FIHFAA

Pengantar
Dalam dunia yang semakin terhubung ini, media sosial telah menjadi arena utama bagi individu untuk menampilkan diri mereka. Salah satu fenomena menarik yang muncul adalah ‘flexing’, atau pamer kekayaan dan kemewahan di media sosial. Fenomena ini tidak hanya mengubah cara kita berinteraksi, tetapi juga membawa dampak sosial dan psikologis yang mendalam. Artikel ini akan mengeksplorasi fenomena flexing dari berbagai sudut pandang, menganalisis dampaknya terhadap hubungan sosial dan ekonomi, serta menawarkan langkah-langkah pengendalian yang efektif, diakhiri dengan refleksi filosofis yang mendalam.

Definisi dan Latar Belakang Sosial Flexing
Flexing adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan tindakan memamerkan kekayaan, gaya hidup mewah, atau pencapaian di media sosial. Istilah ini berasal dari bahasa Inggris ‘flex,’ yang berarti menunjukkan atau memamerkan. Dalam konteks media sosial, flexing sering kali dikaitkan dengan influencer, individu yang memiliki pengaruh besar terhadap orang lain melalui platform digital. Para influencer ini sering menggunakan flexing sebagai strategi untuk meningkatkan popularitas dan eksistensi diri mereka.

Penelitian dari Universitas Negeri Malang menunjukkan bahwa perilaku flexing berkorelasi dengan self-esteem atau harga diri individu (Nurhayat & Noorrizki, 2022). Individu dengan self-esteem tinggi cenderung lebih percaya diri dan optimis, sehingga lebih mungkin memamerkan kekayaan mereka. Namun, perilaku ini juga dapat menjadi bumerang, menciptakan sikap narsistik dan superioritas yang berlebihan. Flexing tidak hanya menjadi manifestasi dari harga diri yang tinggi, tetapi juga dapat meningkatkan self-esteem melalui umpan balik positif dari audiens.

Dampak Flexing pada Hubungan Sosial dan Ekonomi
Flexing di media sosial memiliki dampak signifikan terhadap hubungan sosial dan ekonomi. Dari perspektif sosial, flexing dapat meningkatkan rasa iri hati dan kompetisi di antara pengguna media sosial. Melihat orang lain memamerkan kekayaan mereka dapat menyebabkan tekanan sosial bagi individu untuk mengejar standar hidup yang serupa, sering tanpa mempertimbangkan kemampuan finansial mereka sendiri. Ini juga dapat mengurangi empati dan solidaritas sosial, karena fokus individu bergeser dari pencapaian materiil ke hubungan interpersonal yang lebih tulus (Wahidah & Khodijah, 2023).

Dari segi ekonomi, flexing mendorong budaya konsumtif yang berlebihan. Ketika individu terus-menerus terpapar gaya hidup mewah di media sosial, mereka mungkin merasa terdorong untuk mengeluarkan lebih banyak uang demi mengikuti tren tersebut. Hal ini dapat menyebabkan pengeluaran yang tidak perlu dan meningkatkan beban finansial, terutama bagi mereka yang berpenghasilan rendah atau menengah. Lebih jauh lagi, perilaku ini dapat memicu krisis ekonomi mikro karena individu mungkin menggunakan kredit atau hutang untuk mempertahankan citra mewah mereka di media sosial (Pohana, Munawwarah, & Sinuraya, 2023).

Analisis Psikologis Flexing
Dalam memahami fenomena flexing lebih dalam, kita perlu mengeksplorasi aspek psikologis di balik perilaku ini. Self-esteem, atau harga diri, adalah salah satu faktor utama yang mendasari flexing. Self-esteem adalah evaluasi individu terhadap nilai diri mereka, yang dapat bersifat positif atau negatif. Menurut teori self-esteem, individu dengan harga diri tinggi cenderung merasa lebih berharga dan kompeten, yang mendorong mereka memamerkan pencapaian dan kekayaan mereka sebagai cara memperkuat pandangan positif terhadap diri mereka sendiri (Aini, 2018).

Namun, self-esteem yang terlalu tinggi dapat menjadi pedang bermata dua. Kepercayaan diri yang berlebihan dapat berubah menjadi narsisme, di mana individu merasa superior dan membutuhkan validasi terus-menerus dari orang lain. Flexing menjadi mekanisme untuk mendapatkan validasi tersebut, tetapi pada saat yang sama, perilaku ini dapat merusak hubungan interpersonal dan menciptakan ketegangan sosial. Individu yang terus-menerus mencari validasi eksternal mungkin juga mengalami ketidakstabilan emosional, karena mereka bergantung pada reaksi orang lain untuk merasa baik tentang diri mereka (Srisayekti & Setiady, 2015).

Dampak Sosial Flexing
Flexing memiliki dampak yang signifikan terhadap hubungan sosial. Dalam lingkungan di mana flexing menjadi norma, individu mungkin merasa tertekan untuk mengikuti tren tersebut, meskipun mereka tidak memiliki kemampuan finansial yang memadai. Hal ini dapat menyebabkan perasaan rendah diri dan ketidakpuasan terhadap kehidupan mereka sendiri. Selain itu, flexing dapat menciptakan jarak antara individu, karena fokus mereka beralih pada pencapaian materi daripada membangun hubungan yang bermakna dan autentik (Wibowo & Silaen, 2018).

Flexing juga dapat memicu kompetisi sosial yang tidak sehat. Ketika individu terus-menerus dibandingkan berdasarkan kekayaan dan gaya hidup mereka, ini dapat meningkatkan kecemasan sosial dan tekanan untuk terus menerus mengejar standar yang tidak realistis. Akibatnya, banyak orang mungkin merasa tidak pernah cukup baik atau cukup sukses, yang dapat merusak kesehatan mental mereka dan mengurangi kualitas hidup secara keseluruhan.

Dampak Ekonomi Flexing
Dari segi ekonomi, flexing mendorong budaya konsumtif yang berlebihan. Ketika individu terus-menerus terpapar gaya hidup mewah di media sosial, mereka mungkin merasa terdorong untuk mengeluarkan uang lebih banyak untuk mengikuti tren tersebut. Hal ini dapat menyebabkan pengeluaran yang tidak perlu dan meningkatkan beban finansial, terutama bagi mereka yang berpenghasilan rendah atau menengah. Lebih jauh lagi, perilaku ini dapat memicu krisis ekonomi mikro karena individu mungkin menggunakan kredit atau hutang untuk mempertahankan citra mewah mereka di media sosial (Nurhayat & Noorrizki, 2022).

Fenomena ini juga dapat berdampak pada perekonomian makro. Ketika konsumsi didorong oleh keinginan untuk mempertahankan citra sosial daripada kebutuhan yang sebenarnya, ini dapat menciptakan ketidakseimbangan dalam perekonomian. Pengeluaran yang berlebihan untuk barang-barang mewah dapat mengalihkan sumber daya dari investasi produktif, yang pada akhirnya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

Upaya Pengendalian dan Solusi
Dalam mengatasi dampak negatif flexing, diperlukan upaya pengendalian yang efektif baik dari segi individu maupun masyarakat. Salah satu langkah awal yang dapat diambil adalah meningkatkan kesadaran tentang dampak negatif dari perilaku ini. Kampanye edukasi melalui media sosial dan program-program literasi digital dapat membantu individu memahami risiko yang terkait dengan flexing.

Selain itu, pendekatan psikologis juga penting dalam upaya pengendalian. Menurut teori self-esteem, upaya pengendalian dapat dimulai dengan mengontrol pandangan individu terhadap diri mereka sendiri. Mengajarkan individu untuk menilai diri berdasarkan pencapaian non-materiil dan memperkuat self-esteem melalui cara-cara yang sehat dapat membantu mengurangi kecenderungan untuk flexing. Teknik seperti meditasi, refleksi diri, dan terapi dapat digunakan untuk meningkatkan self-awareness dan mengurangi kebutuhan untuk mencari validasi eksternal melalui media sosial (Syamsu, Lukman, & Nurdin, 2019).

Refleksi dan Kebijaksanaan Filosofis
Pada akhirnya, fenomena flexing di media sosial mengajarkan kita tentang pentingnya keseimbangan antara pencapaian materiil dan nilai-nilai autentik. Filosof Yunani kuno, Socrates, pernah berkata, Hidup yang tidak diuji tidak layak untuk dijalani. Refleksi ini mengingatkan kita untuk selalu introspeksi dan mengevaluasi motivasi di balik tindakan kita. Apakah kita memamerkan kekayaan untuk mencari pengakuan atau untuk memenuhi kebutuhan emosional yang lebih dalam?

Selain itu, Albert Einstein juga memberikan kebijaksanaan yang relevan dengan fenomena ini. Ia berkata, “Berusahalah untuk tidak menjadi orang sukses, melainkan menjadi orang yang bernilai.” Nilai yang dimaksud di sini adalah kontribusi positif kita terhadap masyarakat dan hubungan yang kita bangun dengan orang lain. Ketika kita fokus pada nilai-nilai ini, kita dapat menemukan kebahagiaan dan kepuasan yang lebih dalam daripada sekadar pengakuan sementara dari flexing.

Dalam penutupan, penting bagi kita untuk mengingat bahwa media sosial hanyalah alat, dan cara kita menggunakannya mencerminkan nilai-nilai dan prioritas kita. Dengan meningkatkan kesadaran dan mengedukasi diri kita sendiri tentang dampak flexing, kita dapat membangun masyarakat yang lebih seimbang dan berkelanjutan, di mana hubungan interpersonal yang autentik dan nilai-nilai positif lebih dihargai daripada pencapaian materiil. Melalui pendekatan ini, kita dapat bergerak menuju dunia yang lebih baik, di mana teknologi digunakan untuk memperkuat koneksi manusia dan menciptakan perubahan positif.

Referensi

  1. Aini, D. F. (2018). Self-esteem pada Anak Usia Sekolah Dasar untuk pencegahan Kasus Bullying. Jurnal Pemikiran dan Pengembangan SD, 6(1), 36-46.
  2. Nurhayat, E., & Noorrizki, R. D. (2022). Flexing: Perilaku Pamer Kekayaan di Media Sosial dan Kaitannya dengan Self-Esteem. Jurnal Flourishing, 2(5), 368–374. DOI: 10.17977/um070v2i52022p368-374
  3. Pohana, S., Munawwarah, P., & Sinuraya, J. S. (2023). Fenomena Flexing di Media Sosial dalam Menaikkan Popularitas Diri sebagai Gaya Hidup. Jurnal Ilmu Komunikasi Dan Media Sosial (JKOMDIS), 3(2), 490-493. DOI: 10.47233/jkomdis.v3i2.851
  4. Srisayekti, W., & Setiady, A. S. (2015). Harga-diri (Self-esteem) Terancam dan Perilaku Menghindar. Jurnal Psikologi, 42(2), 141-156.
  5. Syamsu, H. I., Lukman, & Nurdin, M. N. (2019). Pengaruh Umpan Balik Positif Media Sosial Terhadap Self Esteem pada Mahasiswa Pengguna Instagram di Universitas Negeri Makassar. Jurnal Psikologi Talenta, 5(1). DOI: 10.26858/talenta.v5i1.12410
  6. Wahidah, J. N., & Khodijah, U. (2023). The Phenomenon of Flexing on Social Media: Its Impact on Social and Economic Relations. Hidmah, 2(1), 22-24. DOI: 10.55102/hidmah.v2i1
  7. Wibowo, Y., & Silaen, S. M. (2018). Hubungan Self-esteem dan Penggunaan Media Sosial Instagram dengan Perilaku Narsisme di Kalangan Siswa Kelas VIII SMPK Penabur Bintaro Jaya. Ikhraith Humaniora, 2(2), 109-115.
  8. Yohana, N. B., & Wibowo, T. (2020). Analisis Fenomena Sosial Media dan Kaum Milenial: Studi Kasus TikTok. Conference on Business, Social Sciences and Innovation Technology (CBSSIT), 1(1), 565-571.
  9. Sachiyati, M., Yanuar, D., & Nisa, U. (2023). Fenomena Kecanduan Media Sosial (FoMO) Pada Remaja Kota Banda Aceh. Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP USK, 8(4), 234-245.