Mengunjungi Tjong A Fie Mansion: Sebuah Perjalanan Menyusuri Warisan Sejarah di Tengah Kegiatan PIFKI 2 Medan

Oleh. Dr. H. Ahyar Wahyudi, S.Kep. Ns., M.Kep., CISHR, FISQua, FRSPH, FIHFAA

Kunjungan ke Tjong A Fie Mansion adalah pengalaman yang memikat, terutama ketika dilakukan di sela-sela kegiatan PIFKI 2 di Medan. Mansion ini bukan sekadar rumah besar; ia adalah cerminan dari keberhasilan, budaya, dan warisan sejarah yang kaya. Dibangun pada tahun 1895 dan selesai pada tahun 1900, mansion ini mencerminkan perpaduan arsitektur Cina, Melayu, dan Art Deco yang harmonis, dengan prinsip feng shui yang ketat.

Memasuki mansion ini, kita akan disambut oleh dua patung singa Foo granit yang menjaga gerbang utama. Begitu melewati gerbang, kita memasuki halaman depan yang indah dan rumah yang dirancang dengan unik serta didekorasi dengan artistik. Di atap mansion, serta gerbang depan, masih terlihat sisa-sisa keramik berwarna-warni yang melekat pada frieze atap. Lantai ubin Venetian yang terawat baik dan mengkilap menambah keanggunan mansion ini. Lampu-lampu indah yang menggantung adalah campuran gaya Cina dan Eropa dari periode tersebut, sementara langit-langitnya dihiasi dengan pola-pola lukisan tangan asli yang menampilkan phoenix dan kupu-kupu. Di sayap samping mansion, fresko-fresko di ambang pintu menggambarkan adegan kehidupan sehari-hari di Cina.

Melalui pintu kayu besar utama, Tjong A Fie menerima tamu-tamu kehormatannya di lantai dasar mansion. Aula Utama dihiasi dengan dinding panel kayu berlapis emas yang diukir dengan sangat indah dalam gaya Cina. Ruang-ruang samping yang mengapit aula utama adalah ruang Melayu dan ruang Cina. Melalui halaman terbuka “Sumur Langit”, kita bisa melihat ke dalam ruang keluarga menuju kuil keluarga, yang masih digunakan oleh keturunan Tjong A Fie untuk berdoa kepada leluhur mereka setiap tanggal satu dan lima belas bulan lunar.

Di samping kuil leluhur, terdapat dua ruangan besar dan panjang. Salah satunya adalah kamar tidur Tjong A Fie yang menampilkan tempat tidur mahoni yang diukir dengan rumit, pakaian sutra, dan artefak dari era tersebut. Ruangan ini dengan mudah membawa kita kembali ke era 1910-an. Di luar kedua ruangan ini dan kuil leluhur, terdapat ruang makan keluarga dengan meja panjangnya. Dapur yang luas, dengan batu ulekan dan mortar yang autentik dari periode tersebut, terletak di sudut belakang mansion.

Di lantai atas mansion, terdapat area publik yang terdiri dari kuil Kwan Ti Kong dan Ballroom. Detail arsitektur yang indah diterapkan di seluruh ruang yang dirancang dengan hati-hati ini. Ballroom ini adalah tempat di mana Tjong A Fie mengadakan berbagai acara penting, menambah kesan elegan dan megah dari mansion ini.

Sayap Samping yang Bersejarah
Kedua sayap samping mansion digunakan sebagai tempat tinggal keluarga Tjong A Fie. Saat ini, salah satu sayap masih digunakan sebagai tempat tinggal pribadi, sementara sayap lainnya adalah bagian dari ruang museum yang menampilkan artefak Peranakan dan vintage.

Kunjungan ke Tjong A Fie Mansion dapat dikaitkan dengan teori warisan budaya dan arsitektur. Menurut pendapat ahli seperti Lowenthal (1985), warisan budaya bukan hanya tentang benda-benda fisik, tetapi juga tentang cerita, tradisi, dan nilai yang diwariskan dari generasi ke generasi. Mansion ini adalah contoh sempurna bagaimana warisan budaya dapat dijaga dan diapresiasi, serta bagaimana arsitektur dapat menjadi medium untuk memahami dan merasakan sejarah.

Dalam teori arsitektur, mansion ini menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip desain dapat mencerminkan nilai-nilai budaya dan sosial. Seperti yang diungkapkan oleh Rapoport (1982), lingkungan binaan adalah representasi dari budaya dan nilai-nilai masyarakat. Tjong A Fie Mansion, dengan perpaduan gaya arsitektur dan prinsip feng shui, mencerminkan integrasi budaya Cina, Melayu, dan Barat yang ada di Medan pada masa itu.

Kunjungan ke Tjong A Fie Mansion bukan hanya memberikan wawasan tentang sejarah dan arsitektur, tetapi juga tentang bagaimana warisan budaya dapat dijaga dan dihargai. Ini adalah perjalanan yang mengingatkan kita akan pentingnya memahami dan merayakan warisan kita, serta bagaimana hal itu membentuk identitas dan masa depan kita.

Referensi:

  1. Lowenthal, D. (1985). The Past is a Foreign Country. Cambridge University Press.
  2. Rapoport, A. (1982). The Meaning of the Built Environment: A Nonverbal Communication Approach. Sage Publications.