
Pada suatu hari yang hangat di awal Juni 2024, di tengah gemerlapnya kampanye pemilihan kepala daerah di sebuah kota di Kalimantan Selatan, sebuah baliho besar menarik perhatian saya. Di atasnya, tersenyum lebar seorang bakal calon kepala daerah dengan latar biru cerah dan kata-kata yang berbunyi BERSINAR. Sebagai praktisi dan pengamat dalam ilmu administrasi, saya tidak hanya melihat ini sebagai sebuah slogan politik biasa, melainkan sebagai titik terang baru yang bisa menginspirasi perubahan sistematis dalam administrasi pelayanan kesehatan. Dalam refleksi ini, saya akan menguraikan bagaimana akronim BERSINAR dapat diaplikasikan sebagai framework dalam administrasi kesehatan, mengintegrasikan prinsip-prinsip administratif dengan pendekatan yang lebih manusiawi dan holistik.
B – Berbasis Bukti (Evidence-Based)
Langkah awal dalam mengoptimalkan administrasi kesehatan adalah penerapan pendekatan berbasis bukti. Seperti yang dijelaskan oleh Sackett et al. (1996), prinsip kedokteran berbasis bukti bukan hanya sebuah pilihan, tetapi sebuah keharusan dalam mengambil keputusan yang memengaruhi nyawa manusia. Pendekatan ini menggarisbawahi pentingnya data dan fakta ilmiah dalam menentukan praktik kesehatan yang paling efektif dan efisien. Dalam konteks administrasi kesehatan, ini berarti kebijakan dan praktik yang diimplementasikan harus selalu diperbarui dan disesuaikan berdasarkan temuan penelitian terbaru untuk memastikan hasil yang optimal bagi pasien dan efisiensi operasional.
E – Edukasi Masyarakat (Community Education)
Pendidikan dan penyuluhan kepada masyarakat memegang peranan penting dalam meningkatkan kesehatan publik. Nutbeam (2000) mengungkapkan pentingnya literasi kesehatan sebagai tujuan utama dalam strategi promosi kesehatan. Melalui edukasi yang efektif, masyarakat tidak hanya mendapatkan informasi, tetapi juga diajarkan cara mengaplikasikan pengetahuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Administrasi kesehatan yang baik harus mencakup program edukasi yang mampu menyasar berbagai lapisan masyarakat dengan bahasa yang mudah dipahami dan diterapkan.
R – Responsif Kebutuhan (Responsive to Needs)
Menurut Starfield, Shi, dan Macinko (2005), pelayanan kesehatan primer yang responsif adalah kunci dalam mencapai kesehatan yang optimal. Dalam administrasi, hal ini berarti struktur dan operasional layanan kesehatan harus fleksibel dan mampu beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan kebutuhan dan tantangan kesehatan masyarakat. Responsivitas ini tidak hanya mencakup aspek klinis, tetapi juga administratif, dimana keputusan dan kebijakan harus terus menerus dievaluasi dan disesuaikan untuk memenuhi ekspektasi dan kebutuhan masyarakat yang dinamis.
S – Sinergi Antar Layanan (Service Synergy)
Sinergi dalam layanan kesehatan, seperti yang dirumuskan oleh Kodner dan Spreeuwenberg (2002), adalah tentang integrasi dan koordinasi antar layanan yang berbeda untuk mencapai tujuan yang sama. Ini mencakup pemanfaatan sumber daya secara lebih efisien, pengurangan redundansi, dan peningkatan aliran informasi antar layanan. Administrasi yang efektif harus dapat mengelola dan mengintegrasikan berbagai sumber daya dan layanan dengan cara yang memastikan bahwa setiap individu menerima perawatan yang komprehensif dan terkoordinasi.
I – Inovasi Teknologi (Innovation in Technology)
Penggunaan teknologi terkini, seperti yang dijelaskan oleh Bashshur et al. (2011), adalah esensial dalam modernisasi layanan kesehatan. Inovasi seperti telemedisin, rekam medis elektronik, dan platform digital lainnya, dapat meningkatkan efisiensi dan aksesibilitas layanan kesehatan. Dalam administrasi, penerapan teknologi ini harus direncanakan dengan matang, memastikan bahwa seluruh elemen sistem kesehatan terintegrasi dan mampu beroperasi secara maksimal dalam lingkungan yang serba digital.
N – Nalar Kritis (Critical Thinking)
Kemampuan berpikir kritis, seperti yang dikembangkan oleh Facione (1990), adalah fondasi bagi pengambilan keputusan yang efektif dalam administrasi kesehatan. Pengembangan kapasitas ini tidak hanya penting bagi para profesional kesehatan, tetapi juga bagi pembuat kebijakan, yang harus mampu menilai secara kritis dan membuat keputusan berdasarkan kompleksitas informasi yang mereka hadapi. Keterampilan ini sangat penting dalam menghadapi situasi yang tidak pasti dan dalam merumuskan solusi untuk masalah yang kompleks.
A – Aksesibilitas (Accessibility)
Penchansky dan Thomas (1981) mendefinisikan aksesibilitas sebagai kemudahan dalam mendapatkan layanan yang dibutuhkan. Dalam konteks administrasi, ini berarti memastikan bahwa layanan kesehatan dapat diakses oleh semua segmen masyarakat, terutama mereka yang berada di daerah terpencil atau kelompok rentan. Aksesibilitas ini tidak hanya berkaitan dengan lokasi fisik, tetapi juga aspek keuangan dan sosial, memastikan bahwa tidak ada hambatan yang menghalangi individu untuk mendapatkan perawatan yang mereka butuhkan.
R – Riset dan Pengembangan (Research and Development)
Riset dan pengembangan yang berkelanjutan, seperti yang diuraikan oleh Westfall, Mold, dan Fagnan (2007), adalah vital dalam memastikan bahwa praktik kesehatan terus berkembang dan beradaptasi dengan kebutuhan baru. Dalam administrasi kesehatan, hal ini berarti investasi dalam penelitian yang tidak hanya fokus pada pengembangan teknologi atau terapi baru, tetapi juga pada evaluasi dan penyempurnaan kebijakan dan praktik yang sudah ada.
Refleksi atas konsep BERSINAR membawa kita pada pemahaman bahwa administrasi kesehatan bukan hanya tentang pengelolaan fasilitas atau sumber daya, tetapi tentang menciptakan sistem yang mampu beradaptasi dan berevolusi sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Ini adalah perjalanan menuju pelayanan kesehatan yang tidak hanya efisien, tetapi juga inklusif, berdaya, dan manusiawi. Filosof Yunani, Platon pernah berkata, Kesehatan tubuh merupakan harmoni dan kesesuaian, sedangkan penyakit adalah ketidakharmonisan dan ketidaksesuaian. Dalam konteks BERSINAR, kita diajak untuk membangun harmoni dalam administrasi kesehatan — suatu sinergi antara ilmu, kebijakan, dan teknologi yang berorientasi pada kesejahteraan dan pemberdayaan masyarakat.
Artikel ini, yang merenungkan dan mengamati sinar pembaruan melalui kaca administrasi kesehatan, mengajak kita semua untuk bersama-sama mengejar visi kesehatan yang lebih cerah dan inklusif untuk setiap lapisan masyarakat.
Referensi:
- Bashshur, R., Shannon, G., Krupinski, E., & Grigsby, J. (2011). The taxonomy of telemedicine. Telemedicine and e-Health, 17(6), 484-494.
- Facione, P. A. (1990). Critical thinking: A statement of expert consensus for purposes of educational assessment and instruction. The Delphi report.
- Kodner, D. L., & Spreeuwenberg, C. (2002). Integrated care: meaning, logic, applications, and implications – a discussion paper. International Journal of Integrated Care, 2, e12.
- Nutbeam, D. (2000). Health literacy as a public health goal: A challenge for contemporary health education and communication strategies into the 21st century. Health Promotion International, 15(3), 259-267.
- Penchansky, R., & Thomas, J. W. (1981). The concept of access: Definition and relationship to consumer satisfaction. Medical care, 19(2), 127-140.
- Sackett, D. L., Rosenberg, W. M., Gray, J. A., Haynes, R. B., & Richardson, W. S. (1996). Evidence based medicine: what it is and what it isn’t. BMJ, 312(7023), 71-72.
- Starfield, B., Shi, L., & Macinko, J. (2005). Contribution of primary care to health systems and health. The Milbank Quarterly, 83(3), 457-502.
- Westfall, J. M., Mold, J., & Fagnan, L. (2007). Practice-based research—”Blue Highways” on the NIH roadmap. JAMA, 297.