
Adakah di antara kita yang pernah merasa terperangkap dalam lingkaran hubungan asmara yang selalu tampak dangkal, tak pernah memberikan kedalaman emosi dan koneksi yang kita rindukan? Kerap kali, kita mengidamkan pasangan yang benar-benar melihat dan menghargai kita, namun berulang kali menemukan diri dalam hubungan yang tidak memuaskan. Situasi ini bisa begitu menguras emosi, menimbulkan keraguan diri, dan meruntuhkan rasa percaya diri. Namun, mungkin masalah ini bukan sepenuhnya terletak pada diri Anda atau pasangan Anda. Sebaliknya, ini bisa menjadi hasil dari ekspektasi tak terlihat yang kita bawa ke dalam hubungan tersebut. Di sinilah efek Pygmalion, yang berasal dari mitos Yunani kuno, bisa memberikan pencerahan tentang kekuatan-kekuatan tak kasat mata yang membentuk kehidupan cinta kita.
Efek Pygmalion mendapatkan namanya dari mitos Yunani tentang seorang pematung bernama Pygmalion yang menciptakan patung gading yang begitu indah sehingga ia jatuh cinta padanya. Tergerak oleh cintanya, dewi Aphrodite menghidupkan patung tersebut, mengajarkan kita bahwa keyakinan dan harapan dapat membentuk realitas kita. Dalam psikologi, efek Pygmalion menggambarkan bagaimana ekspektasi seseorang dapat mempengaruhi perilaku orang lain. Ini adalah contoh sempurna bagaimana pikiran kita bisa menjadi pemahat yang secara halus membentuk perilaku orang-orang di sekitar kita agar sesuai dengan ekspektasi kita.
Dalam konteks hubungan romantis, efek Pygmalion memiliki implikasi yang mendalam. Ekspektasi yang kita bawa ke dalam hubungan dapat mempengaruhi sikap, perilaku, dan bahkan persepsi diri pasangan kita. Misalnya, jika kita mengharapkan pasangan kita untuk menjadi suportif, perhatian, dan pengertian, mereka lebih cenderung berperilaku demikian. Ekspektasi positif kita dapat membuat kita bertindak lebih penuh kasih, menyuarakan apresiasi, dan berkomunikasi secara terbuka, yang pada gilirannya mendorong pasangan kita untuk mewujudkan sifat-sifat tersebut (Rosenthal & Jacobson, 1968). Sebaliknya, jika kita memasuki hubungan dengan ekspektasi negatif, seperti mengharapkan pasangan kita bersikap acuh tak acuh atau tidak setia, ini dapat menciptakan lingkaran umpan balik negatif. Tindakan kita, yang dipengaruhi oleh ekspektasi ini, dapat mendorong pasangan kita untuk berperilaku dengan cara yang mengonfirmasi keyakinan awal kita. Studi yang dilakukan oleh Eden dan Ravid (1982) menunjukkan bahwa ekspektasi pelatih militer terhadap para pelatih mereka secara signifikan mempengaruhi kinerja para pelatih tersebut. Prinsip yang sama berlaku dalam hubungan pribadi kita – keyakinan dan ekspektasi kita tentang pasangan kita dapat mempengaruhi perilaku mereka dan dinamika keseluruhan hubungan tersebut.
Menerapkan efek Pygmalion dalam hubungan kita memerlukan keseimbangan yang hati-hati. Di satu sisi, mempertahankan ekspektasi positif dapat membantu memelihara hubungan yang penuh kasih dan suportif. Namun, ekspektasi yang terlalu tinggi atau tidak realistis dapat menciptakan tekanan dan menyebabkan kekecewaan. Ketika kita memegang ekspektasi positif terhadap pasangan kita – percaya bahwa mereka baik, pengertian, atau mampu – kita cenderung bertindak dengan cara yang mendorong sifat-sifat tersebut. Keyakinan kita pada mereka dapat meningkatkan kepercayaan diri mereka, membuat mereka lebih sepenuhnya mewujudkan kualitas-kualitas ini (Rosenthal & Jacobson, 1968). Ekspektasi positif menciptakan lingkaran umpan balik positif yang memotivasi pasangan kita untuk memenuhi dan bahkan melampaui harapan kita.
Meskipun ekspektasi positif bermanfaat, ekspektasi yang terlalu tinggi atau tidak realistis dapat merugikan. Jika kita mengharapkan pasangan kita selalu dalam suasana hati yang baik, selalu memahami kita, atau tidak pernah membuat kesalahan, kita mungkin sedang menyiapkan diri untuk kecewa. Ekspektasi tinggi juga dapat menciptakan tekanan pada pasangan kita untuk memenuhi standar ini, menyebabkan stres dan potensi kebencian (Harris, 1994). Ini bisa menciptakan lingkungan di mana pasangan merasa tidak cukup baik dan terus-menerus berada di bawah bayang-bayang harapan yang tidak realistis.
Bukti tentang efek Pygmalion berlimpah dalam kehidupan sehari-hari maupun penelitian akademis. Contoh-contoh ini menunjukkan bagaimana ekspektasi kita dapat membentuk hubungan kita. Misalnya, dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Rosenthal dan Jacobson (1968), ditemukan bahwa guru yang memiliki ekspektasi tinggi terhadap siswa mereka, secara tidak sadar memperlakukan siswa-siswa tersebut dengan cara yang mendorong mereka untuk berprestasi lebih baik. Dalam konteks hubungan pribadi, penelitian oleh Murray et al. (1996) menunjukkan bahwa pasangan yang memiliki ekspektasi positif terhadap pasangannya cenderung memiliki hubungan yang lebih memuaskan dan tahan lama. Mereka menemukan bahwa keyakinan positif tentang pasangan dapat meningkatkan perilaku positif dan memperkuat ikatan emosional.
Sementara efek Pygmalion adalah alami, penting untuk tidak membiarkan ekspektasi kita mengalahkan keaslian pasangan kita. Setiap orang membawa perspektif, kekuatan, dan kelemahan unik mereka sendiri ke dalam hubungan. Penting untuk menghormati sifat-sifat individual ini daripada mencoba membentuk mereka menjadi citra yang kita inginkan. Dengan mengakui dan mendorong diri asli pasangan Anda, Anda menciptakan ruang untuk pertumbuhan yang bermakna dan koneksi yang mendalam. Beberapa strategi yang dapat diterapkan termasuk: komunikasi terbuka, mendengarkan secara aktif, dan kesabaran serta pengertian.
Komunikasi terbuka berarti mendiskusikan harapan, impian, dan ekspektasi Anda dengan pasangan. Pemahaman bersama membuka jalan untuk pertumbuhan bersama. Mendengarkan secara aktif berarti memperhatikan pikiran dan perasaan pasangan Anda tanpa penilaian atau keinginan untuk memperbaiki sesuatu. Kesabaran dan pengertian berarti mendorong kemajuan pasangan Anda tanpa terburu-buru atau memaksa mereka. Dengan menggabungkan efek Pygmalion dengan penghormatan terhadap keaslian, kita dapat menciptakan keseimbangan di mana ekspektasi membimbing tetapi tidak mengendalikan hubungan kita (Rogers, 1951).
Pertanyaan umum tentang efek Pygmalion dalam cinta sering muncul. Misalnya, apakah efek Pygmalion itu nyata? Ya, efek Pygmalion adalah fenomena yang terdokumentasi dengan baik dalam psikologi. Itu pertama kali dipelajari di lingkungan pendidikan di mana ekspektasi guru ditemukan secara signifikan mempengaruhi kinerja siswa. Sejak itu, efek ini telah diamati dalam berbagai konteks, termasuk lingkungan kerja dan hubungan pribadi (Rosenthal & Jacobson, 1968). Bisakah efek Pygmalion menjadi negatif? Memang, efek Pygmalion dapat memiliki konsekuensi negatif jika ekspektasi seseorang terlalu kritis, tidak realistis, atau negatif. Ekspektasi ini secara halus dapat mempengaruhi perilaku orang tersebut, membuat mereka lebih selaras dengan ekspektasi yang tidak membantu ini (Harris, 1994).
Bagaimana saya bisa menghindari aspek negatif dari efek Pygmalion dalam hubungan saya? Menyadari ekspektasi Anda adalah langkah pertama. Pertimbangkan apakah ekspektasi tersebut adil, realistis, dan positif. Sangat penting untuk berkomunikasi secara terbuka dengan pasangan tentang ekspektasi ini. Selain itu, mendorong keaslian dan individualitas pasangan Anda dapat membantu menangkal potensi efek negatif dari efek Pygmalion (Rogers, 1951). Bagaimana efek Pygmalion berbeda dari ramalan yang terpenuhi dengan sendirinya? Ramalan yang terpenuhi dengan sendirinya adalah ketika keyakinan individu tentang suatu situasi mempengaruhi perilaku mereka untuk membawa keyakinan itu menjadi kenyataan. Sebaliknya, efek Pygmalion melibatkan ekspektasi seseorang yang mempengaruhi tindakan orang lain (Merton, 1948). Bagaimana saya bisa menggunakan efek Pygmalion untuk meningkatkan hubungan saya? Anda dapat menggunakan efek Pygmalion untuk keuntungan Anda dengan secara sadar mengembangkan ekspektasi positif tentang pasangan Anda. Dorong kekuatan mereka dan nyatakan keyakinan Anda pada kemampuan mereka. Namun, penting juga untuk menghormati keaslian mereka dan tidak berusaha memaksa mereka memenuhi ekspektasi yang tidak realistis (Rosenthal & Jacobson, 1968).
Memahami efek Pygmalion menawarkan wawasan yang berharga tentang bagaimana ekspektasi kita dapat membentuk dinamika hubungan kita. Seperti seorang pemahat yang dengan hati-hati mengukir bentuk dari sepotong marmer, ekspektasi kita harus digunakan dengan bijaksana, membimbing tetapi tidak memaksa. Menggabungkan ekspektasi positif dengan penghormatan mendalam terhadap keaslian pasangan kita memungkinkan kita untuk membentuk hubungan yang tidak hanya memuaskan tetapi juga mendukung pertumbuhan dan perkembangan individu. Kita bukan sekadar pemahat atau pengamat dalam hubungan kita, melainkan peserta dalam tarian indah pengaruh timbal balik, pertumbuhan, dan koneksi.
Pada akhirnya, kisah cinta yang paling mendalam bukan tentang menemukan orang yang ‘sempurna’, tetapi tentang menciptakan hubungan di mana kedua pasangan bisa menjadi diri mereka yang autentik, terinspirasi, dan dihargai apa adanya. Ini adalah kisah cinta yang layak diperjuangkan. Dalam kata-kata filsuf bijak Laozi, “Ketika aku membebaskan diri dari apa aku, aku menjadi apa aku bisa.” Dengan menghormati keaslian dan membangun harapan yang positif, kita dapat membuka pintu bagi hubungan yang penuh cinta, makna, dan pertumbuhan sejati.
Referensi
- Eden, D., & Ravid, G. (1982). Pygmalion versus self-expectancy: Effects of instructor and self-expectancy on trainee performance. Organizational Behavior and Human Performance, 30(3), 351-364.
- Harris, M. J. (1994). The impact of the Pygmalion effect on teacher expectations and student achievement. Review of Educational Research, 64(3), 259-299.
- Merton, R. K. (1948). The self-fulfilling prophecy. Antioch Review, 8(2), 193-210.
- Murray, S. L., Holmes, J. G., & Griffin, D. W. (1996). The benefits of positive illusions: Idealization and the construction of satisfaction in close relationships. Journal of Personality and Social Psychology, 70(1), 79-98.
- Rogers, C. R. (1951). Client-Centered Therapy: Its Current Practice, Implications, and Theory. Boston: Houghton Mifflin.