Pajak dan Kejatuhan Negara: Kebijakan Khaldun dan Relevansinya Kini

Ibnu Khaldun, seorang sejarawan dan filsuf Muslim terkemuka, memberikan wawasan yang tajam tentang dinamika kebangkitan dan kejatuhan sebuah negara. Salah satu pemikiran yang terkenal dari beliau adalah bahwa salah satu tanda hancurnya sebuah negara adalah semakin besar dan beragam jenis pajak yang dipungut dari rakyatnya. Pernyataan ini mengandung kebenaran yang relevan hingga saat ini, dan layak untuk kita renungkan lebih dalam.

Pajak adalah salah satu sumber utama pendapatan negara yang digunakan untuk membiayai berbagai kebutuhan publik seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan (Smith, 1776). Namun, ketika pajak yang dipungut terlalu besar dan beragam, hal ini dapat membebani rakyat dan menimbulkan berbagai masalah sosial dan ekonomi. Dalam pandangan Khaldun, beban pajak yang terlalu berat akan mengurangi daya beli masyarakat, menghambat pertumbuhan ekonomi, dan pada akhirnya menimbulkan ketidakpuasan yang dapat menggoyahkan stabilitas negara (Khaldun, 1377).

Menurut Prof. Arthur Laffer, seorang ekonom terkenal, terdapat hubungan yang jelas antara tingkat pajak dan pendapatan negara yang dikenal dengan Kurva Laffer. Pada titik tertentu, peningkatan pajak justru akan menurunkan total penerimaan pajak karena mengurangi insentif untuk bekerja dan berinvestasi (Laffer, 1981). Hal ini sejalan dengan pandangan Khaldun bahwa eksesif pajak dapat merusak basis ekonomi sebuah negara (Khaldun, 1377).

Ketika pajak yang dipungut terlalu tinggi, dampak negatifnya akan terasa secara luas. Salah satu dampak yang paling jelas adalah penurunan konsumsi. Dalam konteks ekonomi, konsumsi merupakan salah satu pendorong utama pertumbuhan ekonomi (Keynes, 1936). Jika daya beli masyarakat menurun karena pajak yang tinggi, maka konsumsi pun akan berkurang. Hal ini akan berimbas pada menurunnya permintaan terhadap barang dan jasa, yang pada akhirnya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

Selain itu, pajak yang tinggi juga dapat mengurangi insentif untuk bekerja dan berusaha. Banyak pengusaha yang merasa terhambat oleh pajak yang berat sehingga memilih untuk mengurangi investasi atau bahkan memindahkan usaha mereka ke negara dengan kebijakan pajak yang lebih ramah (Friedman, 1962). Hal ini tentu akan mengurangi peluang kerja dan pendapatan negara dari sektor usaha. Dr. Milton Friedman, seorang ekonom terkemuka, menyatakan bahwa “Pengurangan pajak adalah cara paling efektif untuk merangsang ekonomi dan menciptakan lapangan kerja” (Friedman, 1962). Pandangan ini menekankan pentingnya kebijakan pajak yang bijaksana untuk menjaga dinamika ekonomi yang sehat.

Selain dampak ekonomi, pajak yang tinggi juga dapat menimbulkan ketidakpuasan di kalangan rakyat. Ketidakpuasan ini seringkali muncul karena masyarakat merasa tidak mendapatkan manfaat yang sepadan dengan pajak yang mereka bayar. Ketika rakyat merasa diperas oleh pajak yang tinggi tanpa mendapatkan layanan publik yang memadai, mereka akan kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah (Tiebout, 1956). Hal ini dapat memicu berbagai bentuk perlawanan, mulai dari protes hingga tindakan lebih ekstrim seperti pemberontakan.

Contoh nyata dari fenomena ini dapat dilihat pada Revolusi Prancis. Pada akhir abad ke-18, rakyat Prancis terbebani oleh berbagai pajak yang berat sementara kehidupan mereka tidak mengalami perbaikan signifikan (Lefebvre, 1962). Ketidakpuasan ini memuncak dalam Revolusi Prancis yang menggulingkan monarki dan membawa perubahan besar dalam tatanan sosial dan politik negara tersebut.

Sejarah memberikan banyak pelajaran tentang bagaimana kebijakan pajak yang tidak bijaksana dapat meruntuhkan sebuah negara. Sebaliknya, kebijakan pajak yang adil dan bijaksana dapat menjadi fondasi yang kuat bagi kestabilan dan kemakmuran negara (Schumpeter, 1942). Dalam hal ini, penting bagi para pembuat kebijakan untuk memahami keseimbangan antara kebutuhan pendapatan negara dan kemampuan rakyat untuk membayar pajak.

Di banyak negara, reformasi pajak menjadi agenda utama untuk menciptakan sistem yang lebih adil dan efisien. Beberapa negara, seperti Estonia dan Singapura, telah menerapkan kebijakan pajak yang rendah namun efisien, yang berhasil menarik investasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi (World Bank, 2020). Menurut laporan World Bank, kebijakan pajak yang sederhana dan rendah dapat meningkatkan kepatuhan pajak dan mengurangi biaya administrasi, yang pada akhirnya menguntungkan perekonomian negara (World Bank, 2020).

Pernyataan Ibnu Khaldun tentang pajak memberikan refleksi yang mendalam tentang hubungan antara kebijakan fiskal dan keberlangsungan sebuah negara. Pajak yang tinggi dan beragam memang dapat memberikan pendapatan jangka pendek bagi negara, namun dalam jangka panjang, dampak negatifnya jauh lebih besar. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk merumuskan kebijakan pajak yang bijaksana, yang tidak hanya memperhatikan kebutuhan pendapatan negara tetapi juga kesejahteraan rakyat (Khaldun, 1377).

Dalam menutup artikel ini, kita bisa merenungkan sebuah metafora yang indah: sebuah negara ibarat sebuah pohon besar. Akar-akarnya adalah rakyat yang menopang kehidupan pohon tersebut. Jika akar-akar ini terlalu dibebani dan diperas, pohon tersebut akan layu dan akhirnya tumbang. Sebaliknya, jika akar-akar ini dirawat dengan baik, pohon tersebut akan tumbuh subur dan memberikan buah yang melimpah bagi semua. Pajak adalah pupuk bagi pohon negara; jika diberikan dengan bijaksana, akan menumbuhkan kemakmuran dan kesejahteraan.

Seperti yang dikatakan oleh filsuf Yunani kuno, Aristoteles, Keadilan dalam memungut pajak adalah menciptakan keseimbangan antara hak negara dan hak rakyat. Aristoteles mengingatkan kita bahwa kebijakan fiskal harus dirancang dengan hati-hati untuk memastikan bahwa pajak tidak menjadi beban yang tak tertahankan bagi rakyat. Negara harus memastikan bahwa pajak yang dipungut digunakan untuk kepentingan umum dan meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat.

Refleksi ini juga dapat dilihat dalam konteks modern. Misalnya, dalam analisis oleh Joseph Stiglitz, seorang ekonom pemenang Nobel, beliau menyatakan bahwa Ketidaksetaraan yang ekstrem, yang seringkali diperburuk oleh kebijakan pajak yang tidak adil, dapat mengancam stabilitas sosial dan politik. Stiglitz menekankan pentingnya kebijakan pajak yang adil untuk menjaga kohesi sosial dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif (Stiglitz, 2012).

Namun, tantangan dalam merumuskan kebijakan pajak yang bijaksana bukanlah hal yang mudah. Pemerintah seringkali harus menghadapi berbagai kepentingan yang saling bertentangan dan tekanan dari berbagai kelompok. Dalam hal ini, transparansi dan partisipasi publik menjadi kunci untuk menciptakan kebijakan pajak yang adil dan berkelanjutan. Pemerintah perlu melibatkan berbagai pemangku kepentingan dalam proses perumusan kebijakan dan memastikan bahwa suara rakyat didengar dan dipertimbangkan.

Sebagai penutup, marilah kita merenungkan kembali kata-kata bijak Ibnu Khaldun. Kebijakan pajak yang bijaksana bukan hanya tentang memungut pendapatan negara, tetapi juga tentang menjaga kepercayaan rakyat dan memastikan kesejahteraan bersama. Sebuah negara yang adil dan makmur adalah negara yang mampu menyeimbangkan kebutuhan fiskal dengan kepentingan rakyat. Sebagai filsuf bijak, Khaldun memberikan kita pelajaran berharga tentang pentingnya kebijakan yang berorientasi pada kesejahteraan bersama.

Sebuah negara yang mampu menumbuhkan kepercayaan dan kesejahteraan rakyatnya akan tumbuh subur seperti pohon besar yang akarnya kuat dan daunnya rimbun. Sebaliknya, negara yang mengabaikan kesejahteraan rakyatnya akan layu dan tumbang. Oleh karena itu, penting bagi kita semua, baik sebagai pembuat kebijakan maupun warga negara, untuk bekerja sama menciptakan kebijakan pajak yang adil dan berkelanjutan.

Referensi:

  1. Friedman, M. (1962). Capitalism and Freedom. University of Chicago Press.
  2. Ibnu Khaldun. (1377). Muqaddimah.
  3. Keynes, J. M. (1936). The General Theory of Employment, Interest, and Money. Palgrave Macmillan.
  4. Laffer, A. B. (1981). Supply-Side Economics: Financial Decision Making for the 1980s. Praeger.
  5. Lefebvre, G. (1962). The French Revolution. Columbia University Press.
  6. Schumpeter, J. A. (1942). Capitalism, Socialism and Democracy. Harper & Brothers.
  7. Smith, A. (1776). An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations. W. Strahan and T. Cadell.
  8. Stiglitz, J. (2012). The Price of Inequality: How Today’s Divided Society Endangers Our Future. W.W. Norton & Company.
  9. Tiebout, C. M. (1956). A Pure Theory of Local Expenditures. Journal of Political Economy, 64(5), 416-424.
  10. World Bank. (2020). Doing Business 2020: Comparing Business Regulation in 190 Economies. World Bank Publications.