Oleh. Dr. H. Ahyar Wahyudi, S.Kep. Ns., M.Kep., CISHR, FISQua, FRSPH, FIHFAA
Saya senang sekali bisa mengunjungi Galeri Ulos Sianipar dan berbicara langsung dengan pemiliknya, Bapak Robert M.T. Sianipar. Di tengah kesibukan pagi itu, kami duduk sambil menikmati secangkir kopi di meja depan galerinya yang penuh dengan sejarah dan budaya. Bapak Robert dengan antusias menceritakan bagaimana galeri ini bermula dan berkembang menjadi salah satu pusat kerajinan tekstil ulos dan songket tradisional suku Batak yang terkenal.
Di tengah gemerlap kota Medan, di sebuah gang kecil bernama Jalan A.R. Hakim, berdirilah sebuah pusat kerajinan yang tidak hanya menawarkan produk tekstil, tetapi juga menyimpan kisah perjuangan dan dedikasi terhadap warisan budaya. Galeri Ulos Sianipar, didirikan oleh Bapak Robert M.T Sianipar pada 28 Juni 1992, menjadi saksi bisu perjalanan panjang mempertahankan warisan tradisional suku Batak melalui tenunan ulos dan songket.
Galeri ini bukan sekadar tempat penjualan, tetapi merupakan benteng terakhir dari seni anyaman ulos dan songket yang hampir punah. Berawal dari mimpi seorang pria yang ingin melestarikan budaya leluhurnya, galeri ini telah berkembang dari hanya mempekerjakan 17 orang hingga mencapai 120 orang pada tahun 1995. Namun, perjalanan ini tidak selalu mulus. Pada tahun 2013, jumlah tenaga kerja menurun drastis menjadi 60 orang karena kurangnya minat masyarakat untuk menenun ulos dan songket tradisional. Ini menggambarkan sebuah fenomena yang menyedihkan: warisan budaya yang perlahan memudar di tengah arus modernisasi.
Dalam kurun waktu yang cukup panjang, galeri ini mengalami pasang surut produksi. Tahun 1993 hanya menghasilkan sekitar 17 lembar ulos per hari tanpa produksi songket. Namun, pada tahun 1995, produksi ulos meningkat tajam menjadi 120 lembar per hari, sementara produksi songket baru dimulai pada tahun 1997 dengan rata-rata 15 lembar per hari. Pada tahun 2013, produksi menurun drastis dengan ulos sebanyak ± 40 lembar dan songket hanya ± 1 lembar per hari akibat berkurangnya jumlah tenaga kerja. Kini, dengan lebih dari 400 tenaga kerja, galeri ini kembali bangkit menunjukkan semangat pantang menyerah.
Galeri Ulos Sianipar menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) dan Kedogan, yang masing-masing terbuat dari kayu dan bahan alami, menunjukkan komitmen terhadap teknik tradisional. Bahan baku berupa benang yang didistribusikan dari Pulau Jawa kini lebih ramah lingkungan, mengurangi limbah dengan memilih benang yang sudah diwarnai.
Produk unggulan galeri ini adalah motif ulos yang multifungsi. Tidak hanya sebagai pakaian adat, motif ulos kini bisa dijadikan pakaian sehari-hari, baik untuk bekerja, pesta, atau bepergian. Songket motif ulos, dengan sarung dan selendangnya, juga tetap menjadi pilihan utama dalam acara adat, baik pernikahan, kematian, maupun acara sukacita.
Dalam meneliti dan mendiskusikan fenomena ini, penting untuk merujuk pada pandangan para ahli yang menekankan pentingnya pelestarian budaya dalam era modern. Menurut Clifford Geertz, seorang antropolog terkenal, budaya adalah “sebuah sistem makna yang diwariskan melalui simbol-simbol, yang mengartikulasikan pengalaman-pengalaman kolektif dan individual.” Galeri Ulos Sianipar menjadi simbol penting bagi masyarakat Batak, mengartikulasikan identitas mereka melalui setiap helai benang yang ditenun.
Pendekatan fenomenologis dari Maurice Merleau-Ponty juga memberikan wawasan yang relevan. Ia menekankan bahwa pengalaman manusia adalah cara kita menyentuh dan dipengaruhi oleh dunia sekitar. Dalam hal ini, setiap motif ulos dan songket adalah manifestasi dari pengalaman hidup masyarakat Batak, di mana setiap corak dan warna menyimpan cerita dan makna mendalam.
Namun, pelestarian budaya tidak hanya menjadi tanggung jawab komunitas lokal. Pemerintah dan institusi keuangan, seperti Bank Indonesia yang membina UMKM ini, memainkan peran penting dalam mendukung dan memfasilitasi keberlanjutan usaha. Ini sesuai dengan teori pembangunan ekonomi dari Amartya Sen, yang menyatakan bahwa pembangunan adalah tentang memperluas kebebasan manusia untuk mencapai potensi penuh mereka. Dengan memberikan dukungan kepada Galeri Ulos Sianipar, kita tidak hanya melestarikan budaya tetapi juga memberdayakan masyarakat lokal untuk meraih kemandirian ekonomi.
Galeri Ulos Sianipar adalah contoh nyata dari bagaimana warisan budaya dapat menjadi kekuatan ekonomi dan identitas sosial. Dengan terus mendukung dan mempromosikan kerajinan tradisional ini, kita turut menjaga agar warisan budaya tidak hilang ditelan zaman. Seperti ulos yang mengikat erat setiap serat benangnya, kita pun harus terikat dalam upaya menjaga dan melestarikan warisan ini.
Sebagai refleksi, marilah kita merenungkan makna dari setiap helai ulos dan songket yang dihasilkan di Galeri Ulos Sianipar. Mereka bukan sekadar kain, tetapi representasi dari semangat, dedikasi, dan identitas. Menenun ulos dan songket adalah tentang menjaga agar akar budaya tetap hidup di tengah modernisasi yang terus bergerak maju. Dalam setiap langkah kita untuk melestarikan warisan ini, kita menenun masa depan yang kaya akan makna dan penuh harapan.
Adalah tentang ulos yang mengikat erat setiap serat benangnya, menggambarkan pentingnya keterikatan kita dengan warisan budaya. Seperti ulos yang tidak akan menjadi kuat tanpa serat-serat yang terjalin erat, kita pun tidak akan menjadi kuat tanpa menjaga dan melestarikan budaya kita. Dalam setiap helai ulos, ada kisah, ada identitas, dan ada masa depan yang harus terus kita jaga.
Sebagai penutup, kita perlu merenungkan implikasi dari upaya pelestarian budaya ini. Dengan mendukung kerajinan tradisional seperti ulos dan songket, kita tidak hanya menjaga warisan budaya, tetapi juga memberdayakan masyarakat lokal untuk meraih kemandirian ekonomi. Refleksi ini membawa kita pada kesadaran bahwa budaya adalah jantung dari identitas kita, dan dengan melestarikannya, kita menjaga agar jantung itu terus berdenyut, memberi kehidupan dan makna bagi generasi mendatang.