Oleh. Dr. H. Ahyar Wahyudi, S.Kep. Ns., M.Kep., CISHR, FISQua, FRSPH, FIHFAA
Masa pensiun seringkali diharapkan menjadi periode yang penuh dengan ketenangan dan refleksi. Namun, kenyataannya, banyak individu justru mengalami perubahan perilaku yang drastis dan tidak terduga saat mendekati masa pensiun. Mereka mungkin menunjukkan kecurigaan yang meningkat, kecerewetan yang tidak biasa, serta konflik yang lebih sering dengan anggota keluarga, termasuk anak-anak mereka. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: apa yang sebenarnya terjadi menjelang masa pensiun?
Dalam memahami fenomena ini, kita dapat merujuk pada teori krisis identitas yang diperkenalkan oleh Erik Erikson. Erikson menguraikan bahwa manusia melewati serangkaian krisis psikososial sepanjang hidup mereka, dan setiap tahap ini harus diatasi untuk mencapai perkembangan yang sehat. Menjelang pensiun, individu seringkali menghadapi krisis identitas yang serius. Masa pensiun menandai akhir dari peran profesional yang telah menjadi bagian besar dari identitas diri mereka selama bertahun-tahun. Kehilangan peran ini dapat menyebabkan perasaan tidak berharga, kebingungan tentang identitas diri, dan kecemasan mengenai masa depan (Erikson, 1982).
Erikson mengidentifikasi dua tahap kehidupan yang sangat relevan dengan masa pensiun: Generativitas vs. Stagnasi dan Integritas vs. Keputusasaan. Pada tahap Generativitas vs. Stagnasi, individu berusaha memberikan kontribusi yang berarti melalui pekerjaan dan keluarga. Namun, saat mereka merasa tidak lagi mampu memberikan kontribusi yang sama, mereka mungkin merasa stagnan dan tidak puas. Pada tahap Integritas vs. Keputusasaan, individu merefleksikan hidup mereka dan berusaha menemukan makna. Jika mereka tidak puas dengan pencapaian mereka atau tidak siap menghadapi perubahan, mereka mungkin mengalami keputusasaan (Erikson, 1982).
Selain krisis identitas, kecemasan eksistensial juga memainkan peran penting. Viktor Frankl berpendapat bahwa manusia memiliki kebutuhan mendasar untuk menemukan makna dalam hidup mereka. Saat pekerjaan yang selama ini memberikan makna hilang, individu mungkin merasa kehilangan arah dan tujuan. Kecemasan ini dapat memanifestasikan diri dalam berbagai perilaku negatif, seperti kecurigaan terhadap anggota keluarga dan meningkatnya ketegangan emosional (Frankl, 1985).
Perilaku yang semakin tidak terkendali menjelang pensiun juga dapat dijelaskan melalui teori stres dan coping. Menurut Lazarus dan Folkman (1984), stres adalah hasil dari interaksi antara individu dan lingkungan, di mana individu menilai bahwa tuntutan lingkungan melebihi sumber daya yang mereka miliki untuk mengatasinya. Menjelang pensiun, individu mungkin merasa tidak siap menghadapi perubahan besar ini, yang mengarah pada stres tinggi. Dalam upaya mengatasi stres ini, mereka mungkin mengadopsi strategi coping yang tidak adaptif, seperti menjadi lebih kontroling atau cemas, yang pada gilirannya memperburuk hubungan dengan keluarga.
Kepercayaan diri juga memainkan peran penting dalam menghadapi masa pensiun. Albert Bandura (1997) menyatakan bahwa self-efficacy, atau keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk mengatasi tantangan, sangat mempengaruhi bagaimana individu menghadapi perubahan dan stres. Individu dengan self-efficacy rendah mungkin merasa tidak yakin akan kemampuan mereka untuk menghadapi masa pensiun, yang dapat menyebabkan kecemasan dan perilaku negatif. Sebaliknya, individu dengan self-efficacy tinggi lebih mungkin menghadapi pensiun dengan sikap positif dan kesiapan.
Konsep kematangan emosional yang dikemukakan oleh John Dewey juga relevan dalam menjelaskan fenomena ini. Kematangan emosional mencakup kemampuan untuk mengelola emosi dengan efektif, menunjukkan fleksibilitas dalam menghadapi perubahan, dan mempertahankan hubungan interpersonal yang sehat. Individu yang kurang matang secara emosional mungkin merasa terancam oleh perubahan yang mendekat dan mengekspresikan kecemasan mereka melalui perilaku yang tidak terkendali (Dewey, 1938).
Fenomena ini juga dapat dikaitkan dengan teori kontrol dan agensi. Julian Rotter (1966) mengemukakan konsep locus of control, di mana individu dengan locus of control internal percaya bahwa mereka memiliki kontrol atas kehidupan mereka, sementara individu dengan locus of control eksternal merasa bahwa kehidupan mereka dikendalikan oleh faktor-faktor luar. Menjelang pensiun, individu dengan locus of control eksternal mungkin merasa kehilangan kontrol atas hidup mereka, yang dapat meningkatkan kecemasan dan perilaku negatif.
Dalam mengatasi kecemasan menjelang pensiun, penting bagi individu untuk mengembangkan kematangan emosional dan percaya diri. Program pelatihan dan konseling yang fokus pada peningkatan kematangan emosional dan kepercayaan diri dapat membantu individu mempersiapkan diri menghadapi masa pensiun dengan lebih baik. Selain itu, dukungan dari keluarga dan lingkungan kerja juga dapat berperan dalam meningkatkan kesejahteraan emosional pegawai yang akan memasuki masa pensiun.
Dalam aspek yang lebih luas, temuan ini juga memberikan wawasan bagi para pembuat kebijakan dan praktisi di bidang sumber daya manusia. Menyediakan program persiapan pensiun yang komprehensif dan dukungan psikologis dapat membantu mengurangi kecemasan yang dialami pegawai negeri. Selain itu, menciptakan lingkungan kerja yang mendukung pengembangan kematangan emosional dan percaya diri dapat meningkatkan kesejahteraan pegawai secara keseluruhan.
Penelitian ini juga menggarisbawahi pentingnya pengembangan diri sepanjang karier kerja. Kematangan emosional dan kepercayaan diri bukan hanya penting dalam menghadapi masa pensiun, tetapi juga dalam menjalani kehidupan sehari-hari dan menghadapi berbagai tantangan di tempat kerja. Oleh karena itu, penting bagi individu untuk terus mengembangkan keterampilan emosional dan kepercayaan diri mereka sepanjang hidup.
Krisis identitas dan kecemasan eksistensial yang dialami menjelang pensiun dapat memengaruhi perilaku individu secara signifikan. Mengembangkan kematangan emosional, percaya diri, dan strategi coping yang adaptif adalah kunci untuk menghadapi perubahan ini dengan tenang. Sebagaimana dikatakan oleh Viktor Frankl, Kebahagiaan tidak dapat dikejar; kebahagiaan harus terjadi, dan satu-satunya cara untuk menjamin kebahagiaan adalah dengan mengembangkan kesadaran yang mendalam akan arti hidup (Frankl, 1985). Dengan pemahaman ini, masa pensiun dapat menjadi waktu yang penuh makna dan peluang baru, bukan masa yang ditakuti dan penuh kecemasan.
Referensi
- Bandura, A. (1997). Self-efficacy: The exercise of control. W.H. Freeman.
- Dewey, J. (1938). Experience and education. Macmillan.
- Erikson, E. H. (1982). The life cycle completed. W.W. Norton.
- Frankl, V. E. (1985). Man’s search for meaning. Simon and Schuster.
- Lazarus, R. S., & Folkman, S. (1984). Stress, appraisal, and coping. Springer Publishing Company.
- Rotter, J. B. (1966). Generalized expectancies for internal versus external control of reinforcement. Psychological Monographs: General and Applied, 80(1), 1-28.