Oleh. Dr. H. Ahyar Wahyudi, S.Kep. Ns., M.Kep., CISHR, FISQua, FRSPH, FIHFAA
Ketika kita berbicara tentang remaja, kita berbicara tentang masa yang penuh dengan eksplorasi, tantangan, dan penemuan jati diri. Dalam perjalanan ini, ada banyak hal yang bisa mempengaruhi perilaku mereka, termasuk keputusan untuk mengonsumsi alkohol. Artikel yang ditulis oleh Hana Fathiya Dasairy, Argyo Demartoto, dan Hanung Prasetya memberikan kita wawasan mendalam tentang bagaimana faktor-faktor tertentu, seperti kecemasan, pengaruh orang tua, dan teman, memainkan peran penting dalam mendorong remaja untuk mengonsumsi alkohol. Melalui perspektif teori kognitif sosial, artikel ini menggambarkan bagaimana interaksi antara individu dan lingkungan dapat mempengaruhi perilaku mereka.
Kecemasan dan Konsumsi Alkohol: Mencari Pelarian dalam Gelas
Kecemasan adalah bagian dari kehidupan yang tidak bisa dihindari, terutama di masa remaja yang penuh dengan perubahan dan tekanan. Penelitian menunjukkan bahwa remaja yang mengalami kecemasan memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk mengonsumsi alkohol sebagai bentuk pelarian. Mereka mungkin percaya bahwa alkohol bisa memberikan ketenangan sementara dari kegelisahan yang mereka rasakan. Namun, seperti yang diungkapkan oleh Butler et al. (2019), kenyataannya adalah efek alkohol hanya bersifat sementara dan bisa menyebabkan masalah lebih lanjut.
Kita bisa melihat ini melalui lensa teori kognitif sosial yang dikemukakan oleh Albert Bandura. Menurut Bandura, perilaku manusia dipengaruhi oleh interaksi timbal balik antara kognisi, perilaku, dan lingkungan. Dalam konteks ini, remaja yang mengalami kecemasan mungkin melihat orang di sekitar mereka menggunakan alkohol sebagai cara untuk mengatasi stres, dan mereka pun meniru perilaku tersebut. Ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh lingkungan terhadap keputusan individu, terutama dalam situasi yang penuh tekanan.
Pengaruh Orang Tua: Cermin dalam Keluarga
Orang tua memainkan peran yang sangat penting dalam membentuk perilaku anak-anak mereka. Remaja yang tumbuh di lingkungan di mana orang tua mereka mengonsumsi alkohol cenderung melihat perilaku tersebut sebagai sesuatu yang normal dan bisa diterima. Studi oleh Kabwama et al. (2021) menunjukkan bahwa remaja yang orang tuanya mengonsumsi alkohol memiliki kemungkinan 1.53 kali lebih tinggi untuk ikut mengonsumsi alkohol.
Ini mengingatkan kita pada konsep modeling dalam teori kognitif sosial. Bandura menekankan bahwa anak-anak belajar banyak dari mengamati dan meniru perilaku orang di sekitar mereka, terutama orang tua. Ketika remaja melihat orang tua mereka mengonsumsi alkohol, mereka mungkin mulai menginternalisasi perilaku tersebut dan menganggapnya sebagai cara yang valid untuk mengatasi masalah atau bersosialisasi. Lingkungan keluarga yang seharusnya menjadi tempat pembelajaran positif justru bisa menjadi cermin perilaku negatif jika tidak diawasi dengan baik.
Teman: Pengaruh Sosial yang Kuat
Tidak bisa dipungkiri bahwa teman memiliki pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan remaja. Penelitian menunjukkan bahwa remaja yang memiliki teman yang mengonsumsi alkohol memiliki kemungkinan 2.63 kali lebih tinggi untuk ikut mengonsumsi alkohol. Hal ini karena remaja sering kali mencari validasi dan penerimaan dari kelompok sebaya mereka.
Dalam teori kognitif sosial, ini dikenal sebagai pengaruh normatif. Remaja cenderung meniru perilaku teman-teman mereka untuk merasa diterima dalam kelompok. Ketika seorang remaja melihat teman-temannya mengonsumsi alkohol dan mendapatkan penerimaan sosial, mereka mungkin merasa terdorong untuk melakukan hal yang sama agar bisa dianggap sebagai bagian dari kelompok tersebut. Ini menunjukkan bagaimana norma sosial bisa sangat mempengaruhi keputusan individu, terutama di usia remaja yang masih sangat rentan.
Menggali Lebih Dalam
Jika kita menggali lebih dalam, kita bisa melihat bahwa konsumsi alkohol pada remaja bukan hanya masalah individu, tetapi juga masalah sosial yang kompleks. Teori kognitif sosial memberikan kita kerangka untuk memahami bagaimana interaksi antara individu dan lingkungan bisa mempengaruhi perilaku. Namun, kita juga perlu melihat faktor-faktor lain yang mungkin berperan, seperti tekanan akademis, ekspektasi sosial, dan akses terhadap alkohol.
Bandura (1986) mengemukakan bahwa self-efficacy, atau keyakinan individu terhadap kemampuan mereka untuk mengatasi situasi, juga berperan penting. Remaja yang merasa tidak mampu mengatasi kecemasan atau tekanan mungkin lebih rentan untuk mencari pelarian dalam alkohol. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk membangun lingkungan yang mendukung dan memperkuat self-efficacy mereka.
Selain itu, teori kontrol sosial yang dikemukakan oleh Hirschi (1969) juga relevan dalam konteks ini. Hirschi berargumen bahwa ikatan sosial yang kuat dengan keluarga, sekolah, dan masyarakat bisa mengurangi perilaku menyimpang. Remaja yang merasa terhubung dengan lingkungan mereka dan memiliki dukungan sosial yang kuat cenderung lebih mampu menghindari perilaku berisiko seperti konsumsi alkohol.
Menuju Solusi yang Lebih Baik
Refleksi dari artikel ini memberikan kita pemahaman bahwa untuk mengatasi masalah konsumsi alkohol pada remaja, kita tidak bisa hanya fokus pada individu saja. Kita perlu melihat lingkungan mereka, termasuk keluarga dan teman-teman, serta faktor-faktor sosial yang lebih luas. Intervensi yang efektif harus mencakup pendekatan holistik yang memperkuat dukungan sosial, meningkatkan self-efficacy, dan membangun norma sosial yang positif.
Pendidikan dan kampanye kesadaran tentang bahaya alkohol perlu ditingkatkan, tidak hanya di sekolah tetapi juga dalam keluarga dan komunitas. Orang tua perlu diberi pemahaman tentang dampak perilaku mereka terhadap anak-anak, dan pentingnya menjadi teladan yang baik. Selain itu, program dukungan teman sebaya bisa menjadi cara efektif untuk mengurangi tekanan sosial yang mendorong remaja untuk mengonsumsi alkohol.
Melalui pendekatan yang komprehensif dan kolaboratif, kita bisa membantu remaja mengatasi tantangan mereka dan membuat keputusan yang lebih sehat. Masa remaja adalah masa yang sangat penting dalam pembentukan identitas dan karakter. Dengan dukungan yang tepat, kita bisa membantu mereka tumbuh menjadi individu yang kuat, mandiri, dan bertanggung jawab.
Kesimpulan
Perjalanan memahami faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi alkohol pada remaja memberikan kita wawasan yang mendalam tentang pentingnya peran lingkungan dalam membentuk perilaku. Teori kognitif sosial mengajarkan kita bahwa perilaku tidak terjadi dalam vakum, tetapi dipengaruhi oleh interaksi antara individu dan lingkungan mereka. Dengan memahami ini, kita bisa merancang intervensi yang lebih efektif dan menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan positif remaja.
Seperti sebatang pohon muda yang tumbuh di hutan, remaja memerlukan tanah yang subur, air yang cukup, dan sinar matahari untuk tumbuh dengan baik. Lingkungan yang positif dan dukungan sosial adalah tanah subur yang membantu mereka tumbuh kuat. Jika lingkungan ini tercemar oleh pengaruh negatif seperti kecemasan, perilaku orang tua yang buruk, dan tekanan teman sebaya, maka pohon tersebut akan tumbuh bengkok atau bahkan layu. Kita semua memiliki peran dalam menjaga hutan ini tetap sehat dan subur, agar pohon-pohon muda bisa tumbuh tinggi dan kuat, memberikan manfaat bagi diri mereka sendiri dan lingkungan sekitar. Mari kita ciptakan dunia di mana remaja kita bisa tumbuh menjadi individu yang kuat dan bertanggung jawab, siap menghadapi tantangan hidup dengan kepala tegak dan hati yang teguh.