Oleh Dr. H. Ahyar Wahyudi, S.Kep. Ns., M.Kep., CISHR, FISQua, FRSPH, FIHFAA
Mukadimah
Anak-anak, laksana kanvas suci yang terbentang dalam lorong waktu, tempat harapan ditorehkan dalam goresan halus tawa dan tangis mereka. Mereka adalah gumpalan masa depan yang dipahat oleh setiap perlakuan, entah lembut atau keras, yang mengalir dalam keseharian mereka. Dorothy Law Nolte dengan bijak pernah melantunkan, “Bila seorang anak hidup dalam lingkar kritik, ia akan belajar menghukum. Bila seorang anak hidup dalam bayang permusuhan, ia akan mengakrabi kekerasan. Bila seorang anak hidup dalam derai olok-olok, ia akan tenggelam dalam rasa malu. Bila seorang anak hidup dalam sangkar rasa malu, ia akan dibelenggu rasa bersalah.” Sebuah adagium yang menyeberangi batas waktu, menggugah kesadaran kita akan betapa setiap sentuhan, baik manis maupun pahit, membentuk mosaik kepribadian mereka, menata jalan yang akan mereka tempuh kelak.
Dalam cakrawala ilmu administrasi, tanggung jawab menciptakan semesta yang sehat dan mendukung bagi anak-anak bukanlah beban yang hanya dipikul oleh pundak keluarga, melainkan juga oleh seluruh perangkat pemerintah dan masyarakat. Pendidikan yang bernas, lingkungan yang aman tenteram, serta kebijakan yang bersahabat dengan kesejahteraan anak adalah landasan kukuh untuk menganyam generasi yang tangguh dan sanggup bersaing di jagat raya ini. Namun sayang, kenyataan acapkali berkata lain.
Jajanan Anak Sekolah dan Cakrawala Keamanan Pangan
Di tepian ruang pendidikan, di mana anak-anak mengisi ruang-ruang kosong dengan canda dan tawa, tersembunyi sebuah perhatian yang luput dari sorotan: jajanan sekolah. Betapa sering kita dapati makanan yang tersaji tidak berbalut standar kesehatan, tanpa naungan sertifikat layak sehat dari tangan-tangan yang berwenang. Sejauh mana keseriusan pemerintah dalam mengawasi dan mengatur fenomena ini? Di mana regulasi yang seyogianya menjadi pelita, memastikan bahwa yang mengisi perut-perut mungil itu adalah sesuatu yang aman, bukan ancaman?
Dalam pandangan yang lebih luas, kita menyaksikan tiadanya sistem pengawasan yang benar-benar melekat, yang mampu menyelusup hingga ke akar permasalahan. Sebuah mekanisme pengawasan yang lebih ramping namun efektif haruslah segera dihamparkan, melibatkan banyak tangan, dari tenaga kesehatan hingga simpul-simpul komunitas sekolah. Setiap potong jajanan yang beredar di sekitar lembaga pendidikan haruslah melalui saringan yang ketat, dan sertifikasi wajib bagi setiap penjual mesti menjadi syarat yang tak boleh ditawar.
E-Cigarette dan Bayang Usia
Di sisi lain, dalam derap langkah yang tergesa, kita dihadapkan pada badai yang diam-diam menggerogoti jiwa-jiwa muda: e-cigarette. Fenomena ini menyeruak, menebar racun dalam diam, tanpa hirau akan usia. Batasan usia yang mestinya menjadi tameng, kerap kali diabaikan oleh mereka yang haus akan laba. Peran pemerintah dalam hal ini menjadi nyala api yang tak boleh padam. Sebuah regulasi yang tegas, dengan pengawasan yang menyeluruh, haruslah digulirkan untuk menahan laju penyebaran e-cigarette di kalangan generasi yang masih hijau.
Beban Belajar dan Jerat Ekstrakurikuler
Sementara itu, di balik tembok-tembok sekolah yang dingin, sebuah ironi mengintai. Kebijakan full day school, yang sejatinya diharapkan mampu memberikan ruang lebih bagi anak-anak untuk beristirahat, justru menambah beban pada pundak-pundak kecil mereka. Tugas-tugas yang tak berkesudahan, bahkan hingga hari yang seharusnya menjadi milik mereka untuk bermain, mengikis keceriaan yang mestinya mereka nikmati di masa kanak-kanak.
Pemerintah, bersama dengan lembaga pendidikan, haruslah membuka mata lebar-lebar. Kebijakan pendidikan memerlukan revisi yang mendalam. Anak-anak memerlukan keseimbangan, antara mengasah otak dan membebaskan diri dalam permainan. Kurikulum yang lebih luwes, yang menekankan pengembangan karakter dan kreativitas, harus menjadi pemandu arah dalam perjalanan pendidikan mereka.
Krisis Kesehatan di Tengah Generasi Muda
Seiring dengan berjalannya waktu, satu lagi bayangan gelap menggelayuti masa depan generasi muda: krisis kesehatan. Diabetes yang kini mengintai anak-anak belia, sebagaimana diungkap oleh dr. Tirta Mandira Hudi, menjadi cerminan dari pola konsumsi yang jauh dari kata sehat. Minuman manis yang beredar tanpa kendali, merusak ginjal mereka di usia yang masih hijau, menyeret mereka ke dalam jurang cuci darah di masa dewasa yang terlalu dini.
Di sini, tanggung jawab pemerintah kembali menyeruak. Langkah tegas harus diambil untuk mengatur konsumsi gula di kalangan anak-anak dan remaja. Kampanye kesehatan yang masif, yang meresap hingga ke sendi-sendi sekolah, harus segera digalakkan. Setiap anak harus memahami betapa pentingnya menjaga pola makan yang sehat, agar mereka dapat tumbuh dan berkembang dalam tubuh yang kuat.
Penutup
Dalam hening, kita merenungi peran yang kita emban dalam membentuk masa depan anak-anak kita. Kata-kata Dorothy Law Nolte kembali terngiang, “Bila seorang anak hidup dalam dorongan, ia akan belajar percaya diri. Bila seorang anak hidup dalam keadilan, ia akan meneladani keadilan. Bila seorang anak hidup dalam ketenteraman, ia akan mengenal iman. Bila seorang anak hidup dalam dukungan, ia akan menyukai dirinya sendiri. Bila seorang anak hidup dalam penerimaan dan persahabatan, ia akan mencintai dunia.”
Melalui kacamata administrasi, kita menyadari bahwa menciptakan dunia yang ramah bagi anak-anak membutuhkan kolaborasi tanpa batas. Kebijakan yang bijak, pengawasan yang ketat, serta pendidikan yang seimbang adalah kunci untuk membentuk generasi yang kuat dan siap menghadapi dunia. Setiap langkah kecil yang kita ambil hari ini, setiap kebijakan yang kita tetapkan, adalah benang yang akan merajut masa depan dunia yang akan kita wariskan kepada mereka. Mari kita berjalan bersama, dengan kasih dan dukungan, menciptakan dunia yang lebih baik, yang layak mereka tinggali.