Membuka Tirai Ketimpangan Pendidikan: Refleksi dari Tes Kemampuan Akademik di Jepang dan Relevansinya di Indonesia

Oleh.  DR. H. Ahyar Wahyudi, S.Kep. Ns., M.Kep., CISHR, FISQua, FRSPH, FIHFAA (Reviewer Jurnal PRAJA Observer: Jurnal Penelitian Administrasi Publik)

Dalam sunyi kelas yang hanya diselingi oleh suara pensil yang menggores kertas, ribuan anak di seluruh Jepang tengah menghadapi tantangan yang lebih dari sekadar soal ujian. Mereka menghadapi kenyataan ketimpangan pendidikan yang kian nyata, terpantul dalam angka-angka yang dingin dari hasil survei nasional pencapaian akademik. Di tengah hiruk-pikuk perubahan zaman, sebuah pertanyaan menggantung di udara: Mampukah pendidikan menjadi jembatan yang menghubungkan jurang-jurang ketimpangan ini, atau justru semakin memperlebar jaraknya?

Ketimpangan yang Mengakar dalam Keluarga: Kacamata Bourdieu
Kesenjangan dalam dunia pendidikan sering kali dimulai dari rumah. Bourdieu, dengan teorinya tentang cultural capital, menyingkap bagaimana sumber daya budaya dalam keluarga—buku-buku, pengetahuan, dan nilai-nilai yang ditanamkan sejak dini—berperan besar dalam menentukan arah hidup anak-anak (Bourdieu, 1986). Ketika anak-anak dari keluarga dengan sedikit buku dan latar belakang ekonomi yang terbatas menunjukkan hasil yang lebih rendah dalam survei akademik, ini bukan sekadar soal kecerdasan atau kemalasan. Ini adalah potret ketidaksetaraan yang diukir oleh kondisi sosial-ekonomi, sebuah kenyataan pahit yang tak bisa diabaikan.

Namun, keajaiban pendidikan, jika dikelola dengan bijak, adalah kemampuannya untuk menjadi alat pemersatu yang kuat. Survei ini menemukan bahwa dengan metode pengajaran yang tepat, siswa dari latar belakang yang kurang beruntung dapat mencapai prestasi yang setara dengan teman-teman mereka yang memiliki lebih banyak sumber daya di rumah. Ini bukan sekadar tentang mengajar, tetapi tentang mengangkat, memberdayakan, dan membuka jendela kesempatan bagi mereka yang mungkin selama ini merasa tertutup oleh dinding ketidakmampuan.

Meniti Jembatan melalui Metode Pengajaran yang Inklusif
Seperti helai benang yang saling terjalin membentuk kain, pendidikan yang baik adalah hasil dari berbagai pendekatan yang terintegrasi dengan rapi. Pembelajaran individu yang dioptimalkan, di mana setiap anak bisa maju sesuai dengan kecepatannya sendiri, merupakan salah satu cara untuk merajut benang-benang ini (Piaget, 1970). Piaget mengajarkan kita bahwa pembelajaran adalah proses yang sangat personal, di mana setiap anak harus diberi ruang untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan kapasitas dan minatnya. Di sisi lain, pembelajaran kolaboratif menggarisbawahi pentingnya interaksi sosial, seperti yang diutarakan Vygotsky, di mana anak-anak saling belajar dan mendukung satu sama lain dalam proses mereka menuju pemahaman yang lebih mendalam (Vygotsky, 1978).

Namun, perubahan tidak selalu diterima dengan tangan terbuka. Di banyak sekolah, metode ini masih dianggap sebagai tantangan, karena memerlukan waktu, energi, dan dedikasi yang lebih besar daripada metode pengajaran tradisional. Ini adalah sebuah paradoks: di satu sisi, kita tahu apa yang harus dilakukan untuk menjembatani kesenjangan, tetapi di sisi lain, kita sering kali terjebak dalam rutinitas yang sudah nyaman.

Teknologi juga memainkan peran penting dalam dunia pendidikan modern. Dalam survei ini, pembelajaran berbasis teknologi yang menggunakan perangkat seperti tablet ternyata mampu memotivasi anak-anak dari rumah tangga yang kurang mampu untuk lebih berani menghadapi tantangan dan meningkatkan rasa percaya diri mereka. Namun, seperti pisau bermata dua, teknologi juga bisa menjadi sumber ketimpangan baru jika tidak digunakan dengan bijaksana. Anak-anak yang tidak terbiasa dengan penggunaan teknologi atau tidak mendapatkan dukungan yang memadai dari sekolah dan guru, mungkin justru tertinggal lebih jauh.

Mengangkat Beban Guru: Tantangan dan Harapan
Di balik setiap kemajuan pendidikan, ada guru-guru yang bekerja keras dengan penuh dedikasi. Namun, survei ini juga mengungkapkan bahwa banyak guru yang merasa terbebani oleh tuntutan yang semakin berat. Mereka menyerukan perlunya peninjauan kembali konten pendidikan dan peningkatan jumlah guru untuk memastikan bahwa mereka memiliki waktu yang cukup untuk berinteraksi dengan siswa secara langsung. Ini adalah pengingat bahwa pendidikan bukan hanya tentang kurikulum atau teknologi, tetapi tentang manusia—guru dan siswa—yang berinteraksi di dalamnya.

Tidak hanya itu, masalah absensi siswa juga menjadi perhatian. Sebanyak 100.000 siswa dari kelas enam dan tahun ketiga SMP secara kronis tidak hadir di sekolah, dan sedikit dari mereka yang mengikuti tes dalam penilaian ini. Fenomena ini mengingatkan kita akan pentingnya memahami alasan di balik ketidakhadiran mereka dan mencari solusi yang lebih inklusif dan adaptif.

CBT: Harapan Baru atau Ancaman Baru?
Rencana transisi ke penilaian berbasis komputer (CBT) yang akan dimulai pada tahun fiskal 2027 menawarkan harapan baru, terutama bagi siswa yang tidak dapat menghadiri sekolah secara reguler. Namun, ini juga menimbulkan kekhawatiran baru: apakah siswa dan sekolah mereka siap untuk beradaptasi dengan penggunaan teknologi ini? Bagaimana kita bisa memastikan bahwa teknologi ini tidak justru memperlebar kesenjangan antara yang mampu dan yang tidak?

Refleksi untuk Indonesia: Membangun Pendidikan yang Inklusif dan Adil
Apa yang terjadi di Jepang seharusnya menjadi cermin bagi kita di Indonesia. Ketimpangan dalam pendidikan bukanlah masalah eksklusif satu negara; ini adalah isu global yang memerlukan perhatian serius. Di Indonesia, kita juga menghadapi tantangan serupa, di mana latar belakang sosial-ekonomi sering kali menentukan nasib pendidikan anak-anak kita. Di daerah-daerah terpencil, akses terhadap pendidikan berkualitas masih menjadi mimpi yang jauh dari kenyataan. Teknologi, yang seharusnya menjadi alat pemersatu, terkadang justru menciptakan jurang baru antara yang terhubung dan yang terpinggirkan.

Solusi yang ditawarkan oleh survei akademik di Jepang—pembelajaran yang dioptimalkan secara individu, pembelajaran kolaboratif, dan pemanfaatan teknologi—harus dipertimbangkan dengan cermat di Indonesia. Namun, implementasi solusi ini harus disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan lokal, serta dengan memperhatikan keterbatasan yang ada.

Lebih dari sekadar angka-angka dan teori, pendidikan adalah tentang manusia. Tentang bagaimana kita, sebagai masyarakat, memandang dan menghargai setiap anak sebagai individu yang unik dengan potensi yang luar biasa. Di sini, peran guru menjadi sangat krusial. Mereka adalah jembatan yang menghubungkan visi dengan kenyataan, dan mereka membutuhkan dukungan yang memadai untuk menjalankan peran ini dengan baik.

Sebagai penutup, mari kita renungkan kembali tujuan utama dari pendidikan: bukan sekadar untuk menghasilkan siswa dengan nilai tinggi, tetapi untuk membentuk generasi yang cerdas, kritis, dan peduli terhadap sesama. Sebuah pendidikan yang adil, inklusif, dan merangkul semua anak, tanpa memandang latar belakang mereka, adalah kunci menuju masa depan yang lebih baik. Mari kita mulai dari sekarang, dengan langkah kecil tapi pasti, untuk mewujudkan pendidikan yang benar-benar untuk semua.

Referensi:

  1. Bourdieu, P. (1986). The forms of capital. In J. Richardson (Ed.), Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education (pp. 241-258). Greenwood.
  2. Piaget, J. (1970). The science of education and the psychology of the child. Orion Press.
  3. Vygotsky, L. S. (1978). Mind in society: The development of higher psychological processes. Harvard University Press.