Oleh. DR. H. Ahyar Wahyudi, S.Kep. Ns., M.Kep., CISHR, FISQua, FRSPH, FIHFAA (Reviewer Jurnal PRAJA Observer: Jurnal Penelitian Administrasi Publik)
Pengantar: Menyibak Tabir Kekuasaan
Kekuasaan, seperti ombak yang tak pernah berhenti, selalu bergerak dan bertransformasi. Dalam dunia politik, pemimpin yang kuat sering kali dihadapkan pada ancaman yang tak terduga, termasuk percobaan pembunuhan. Namun, sejarah menunjukkan bahwa ancaman tersebut sering kali bukan menjadi akhir dari kekuasaan mereka, melainkan menjadi pemicu untuk menguatkan posisi dan memperluas cengkeraman mereka. Dari perspektif ilmu administrasi, kita dapat melihat bagaimana pemimpin otoriter menggunakan momen-momen krisis ini sebagai alat untuk mempertahankan dan bahkan memperkuat kekuasaan mereka.
Mussolini: Seni Mengelola Krisis
Benito Mussolini adalah contoh klasik dari seorang pemimpin yang mampu mengubah krisis menjadi kesempatan untuk memperkokoh kekuasaannya. Ketika ia ditembak oleh Violet Gibson pada tahun 1926, Mussolini tidak hanya selamat secara fisik, tetapi juga berhasil memanipulasi peristiwa tersebut untuk keuntungan politiknya. Dengan kecerdikan yang luar biasa, Mussolini menampilkan dirinya di hadapan publik dengan perban putih di hidungnya, menciptakan citra seorang pemimpin yang tak terkalahkan, yang siap mengorbankan dirinya demi bangsa.
Dari perspektif ilmu administrasi, tindakan Mussolini ini mencerminkan penggunaan simbolisme dalam politik untuk memperkuat legitimasi kekuasaan. Mussolini berhasil mengubah percobaan pembunuhan tersebut menjadi narasi yang membenarkan tindakan represifnya, termasuk penghapusan kebebasan sipil dan penindasan terhadap oposisi. Ini menunjukkan bagaimana pemimpin otoriter sering kali menggunakan krisis sebagai alat untuk memperkuat kendali mereka atas struktur administrasi negara, mengubah birokrasi menjadi alat yang melayani kepentingan pribadi mereka【Griffin, 1991】.
Pengelolaan Kekuasaan dalam Perspektif Ilmu Administrasi
Ilmu administrasi mengajarkan pentingnya prinsip-prinsip rasionalitas dan legalitas dalam pengelolaan negara. Namun, dalam tangan seorang pemimpin otoriter, prinsip-prinsip ini sering kali dikesampingkan demi mempertahankan kekuasaan. Mussolini, misalnya, memperkenalkan serangkaian “Hukum untuk Pertahanan Negara” setelah serangkaian percobaan pembunuhan, yang secara efektif mengubah Italia menjadi negara totaliter. Hukum-hukum ini memberikan kekuasaan eksekutif yang luas dan mengikis prinsip-prinsip demokrasi yang seharusnya menjadi landasan dari administrasi publik【Weber, 1947】.
Dalam analisis ini, kita dapat melihat bahwa pemimpin otoriter cenderung memanipulasi hukum untuk melanggengkan kekuasaan mereka. Ini adalah bentuk distorsi dari prinsip administrasi publik yang seharusnya menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat. Sebaliknya, hukum dijadikan alat untuk menekan oposisi dan memperkuat kontrol atas semua aspek kehidupan publik dan privat. Ini adalah pelajaran penting dari perspektif ilmu administrasi, di mana kita harus selalu waspada terhadap penyalahgunaan kekuasaan yang dapat merusak tatanan sosial dan hukum yang adil【Michels, 1911】.
Kepemimpinan dan Simbolisme: Membentuk Realitas Politik
Pemimpin otoriter sering kali menggunakan simbolisme untuk membentuk realitas politik yang mendukung kekuasaan mereka. Mussolini, dengan latar belakang jurnalistiknya, memahami betul pentingnya citra publik. Luka kecil di hidungnya menjadi lebih dari sekadar luka; itu adalah simbol keberanian dan keabadian. Ini adalah bentuk dari apa yang disebut oleh Roger Griffin sebagai “palingenetic ultranationalism,” di mana pemimpin memposisikan dirinya sebagai sosok penyelamat yang lahir kembali dari krisis【Griffin, 1991】.
Dalam perspektif ilmu administrasi, manipulasi simbolisme ini menunjukkan bagaimana pemimpin otoriter menggunakan citra dan narasi untuk memperkuat kultus kepribadian mereka. Ini bukan hanya tentang mengelola negara, tetapi juga tentang mengelola persepsi publik. Dengan cara ini, pemimpin otoriter dapat menciptakan loyalitas yang tak tergoyahkan dari para pengikutnya, yang pada akhirnya memudahkan mereka untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang represif tanpa mendapat perlawanan berarti.
Trump: Refleksi Kekuasaan di Era Modern
Donald Trump, meskipun tidak secara resmi menjadi pemimpin otoriter, menunjukkan banyak karakteristik yang sejalan dengan pemimpin otoriter klasik. Setelah percobaan pembunuhan yang terjadi pada Juli 2024, Trump dengan cerdik memanfaatkan insiden tersebut untuk memperkuat posisinya di antara para pendukungnya. Dengan gestur simbolis yang kuat, Trump mengangkat tinjunya dan berteriak “fight, fight, fight,” yang dengan cepat menjadi ikon perlawanan dan kekuatan di mata para pendukung setianya.
Dari sudut pandang ilmu administrasi, tindakan Trump ini dapat dilihat sebagai strategi untuk memperkuat kontrol politiknya. Trump, seperti halnya Mussolini, memahami kekuatan simbolisme dan narasi dalam politik. Ia menggunakan momen krisis ini untuk mengukuhkan identitas kelompok pendukungnya, menciptakan keterbelahan yang semakin dalam antara pendukung dan penentang. Dalam analisis ini, kita melihat bagaimana seorang pemimpin dapat menggunakan krisis untuk memperluas pengaruhnya dan mengkonsolidasikan kekuasaan melalui manipulasi simbolisme【Burns, 1978】.
Dinamika Kekuasaan dan Dampaknya terhadap Struktur Administrasi
Ketika pemimpin otoriter menghadapi ancaman, seperti percobaan pembunuhan, mereka sering kali merespons dengan memperkuat cengkeraman mereka atas kekuasaan. Ini adalah respons alami dari seorang pemimpin yang berusaha mempertahankan posisi mereka di tengah ancaman yang semakin nyata. Mussolini, setelah beberapa kali menjadi target percobaan pembunuhan, memperkuat kekuasaannya dengan menyingkirkan oposisi dan mengendalikan birokrasi melalui penunjukan loyalis yang setia. Hal ini menciptakan sistem administrasi yang tidak lagi melayani kepentingan publik, tetapi semata-mata berfungsi untuk mempertahankan kekuasaan pribadi sang pemimpin【Weber, 1947】.
Dampak dari proses ini terhadap masyarakat sangat signifikan. Ketika hukum dan administrasi dipolitisasi, kepercayaan publik terhadap institusi negara runtuh. Birokrasi yang seharusnya menjadi penjaga keadilan dan efisiensi berubah menjadi instrumen represi. Dalam jangka panjang, masyarakat menjadi semakin rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan, ketidakadilan, dan ketidakstabilan politik.
Selain itu, proses konsolidasi kekuasaan ini juga menciptakan ketidakstabilan internal yang semakin mendalam. Ketidakstabilan ini bukan hanya disebabkan oleh ancaman eksternal, tetapi juga oleh dinamika internal yang mendorong pemimpin untuk terus memperkuat cengkeraman mereka atas kekuasaan. Dalam konteks Mussolini dan Trump, kita melihat bagaimana percobaan pembunuhan digunakan sebagai alat untuk memperdalam polarisasi politik, menghancurkan oposisi, dan menciptakan budaya ketakutan yang memungkinkan rezim untuk tetap berkuasa【Griffin, 1991】.
Kesimpulan: Kekuatan di Balik Ancaman
Seperti sebuah pohon yang tumbuh di tepi jurang, kekuasaan yang dibangun di atas ketakutan dan manipulasi selalu berada di ambang kehancuran. Percobaan pembunuhan yang seharusnya melemahkan pemimpin otoriter sering kali justru memperkuat cengkeraman mereka atas kekuasaan. Namun, ini bukanlah tanda kekuatan sejati, melainkan gambaran dari sebuah kekuasaan yang rapuh, yang bergantung pada simbolisme dan manipulasi untuk bertahan.
Dari perspektif ilmu administrasi, kita harus waspada terhadap pemimpin yang menggunakan ancaman sebagai alat untuk memperkuat kekuasaan mereka. Dalam dunia yang semakin kompleks ini, penting untuk selalu mempertahankan prinsip-prinsip dasar administrasi yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan keadilan. Hanya dengan cara ini kita dapat memastikan bahwa kekuasaan digunakan untuk kebaikan bersama, bukan untuk melanggengkan kontrol yang tidak adil.
Seperti sinar matahari yang menerobos awan gelap, kebenaran dan keadilan akan selalu menemukan jalan untuk bersinar, meskipun terhalang oleh bayang-bayang kekuasaan yang menekan. Dan pada akhirnya, sejarah akan mencatat, bukan mereka yang menindas dan menguasai dengan tangan besi, tetapi mereka yang menggunakan kekuasaan untuk melayani dan mengangkat harkat kemanusiaan. Inilah pelajaran yang harus kita renungkan dalam setiap langkah kita di jalan menuju masa depan yang lebih adil dan sejahtera.