Meratakan Tanah yang Miring: KRIS dan Harapan Baru dalam Sistem Kesehatan Indonesia

abstraksi.idKeadilan bukan hanya tentang membagi rata, tetapi memastikan setiap orang mendapatkan apa yang ia butuhkan untuk hidup bermartabat.

Indonesia kini sedang menggenggam mimpi besar. Sebuah cita-cita tentang layanan kesehatan yang tidak lagi mendiskriminasi berdasarkan isi dompet atau posisi sosial. Di atas kertas, kebijakan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) adalah janji besar itu. Ia muncul sebagai angin segar di tengah hiruk-pikuk ketimpangan yang telah lama mencengkeram sistem kesehatan Indonesia. Namun, seperti mimpi besar lainnya, ia menghadapi jalan yang tidak mudah. KRIS adalah upaya monumental untuk meratakan “tanah yang miring,” tetapi setiap sekop tanah yang diangkat mengungkap batu-batu besar yang menghalangi.

Sistem kesehatan Indonesia selama bertahun-tahun terbagi menjadi strata. Mereka yang mampu membayar lebih selalu mendapatkan layanan yang lebih baik, dengan fasilitas yang lebih nyaman dan tenaga medis yang lebih tersedia. Di sisi lain, peserta BPJS Kesehatan kelas bawah sering kali harus puas dengan apa yang tersisa. KRIS ingin menghapus sekat-sekat itu, menyamaratakan layanan kesehatan bagi semua peserta JKN tanpa memandang status sosial. Ia adalah revolusi, bukan sekadar evolusi, yang mencoba menciptakan keadilan dalam sebuah sistem yang telah lama berat sebelah.

Namun, kenyataan di lapangan berbicara lain. Penelitian yang dilakukan oleh Ria Amalia Saleh dan koleganya pada 2024 mengungkap bahwa meskipun 81% rumah sakit menyatakan kesiapan mereka untuk menerapkan KRIS, banyak dari mereka masih menghadapi tantangan besar. Sebagian besar rumah sakit di Indonesia, terutama di daerah terpencil, masih kekurangan fasilitas dasar yang diperlukan untuk memenuhi standar KRIS. Ventilasi yang memadai, ruang isolasi yang layak, hingga penyediaan outlet oksigen hanyalah sebagian dari tantangan teknis yang harus diatasi. Dalam hal ini, rumah sakit seperti RSUD dr. Moch Anshari Saleh di Banjarmasin, yang telah memenuhi 85% dari standar KRIS, menjadi pengecualian. Sebaliknya, Rumah Sakit Pertamina Bintang Amin di Lampung, yang hanya memenuhi 30% standar, menunjukkan bahwa perjalanan masih sangat panjang.

Salah satu tantangan terbesar KRIS adalah dampaknya terhadap kapasitas tempat tidur. Untuk memenuhi standar ruang yang lebih luas bagi pasien, jumlah tempat tidur yang tersedia di banyak rumah sakit terpaksa dikurangi. Fusia Meidiawaty dalam penelitiannya pada 2024 mencatat bahwa pengurangan kapasitas tempat tidur ini menjadi dilema serius, terutama bagi rumah sakit di kota besar yang sudah beroperasi di ambang kapasitas maksimum. Akibatnya, waktu tunggu pasien menjadi lebih lama, menambah tekanan pada sistem kesehatan yang sudah kewalahan. Di sisi lain, tenaga medis menghadapi beban kerja yang semakin berat, yang pada akhirnya dapat menurunkan kualitas layanan.

Di luar persoalan teknis, KRIS juga menghadapi tantangan besar dalam hal pendanaan. Rumah sakit pemerintah mendapatkan bantuan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk mendukung renovasi dan pengadaan fasilitas. Namun, rumah sakit swasta, yang juga memainkan peran penting dalam jaringan layanan kesehatan, harus bertahan sendiri. Sebuah studi oleh Devi dan Bachtiar menunjukkan bahwa rumah sakit swasta di Tangerang menghadapi tekanan finansial besar karena tidak adanya dukungan pemerintah. Mereka harus memilih: memenuhi standar KRIS atau menjaga kelangsungan keuangan mereka. Pilihan ini sering kali membawa konsekuensi yang tidak menyenangkan bagi pasien.

Di tengah semua tantangan ini, tenaga kesehatan berdiri sebagai pilar yang menopang sistem. Tanpa mereka, KRIS hanya akan menjadi mimpi kosong. Namun, transformasi besar ini juga menjadi beban berat bagi mereka. Selain harus menyesuaikan diri dengan standar baru, mereka juga harus menghadapi tekanan psikologis akibat peningkatan beban kerja. Penelitian yang dilakukan di RSUP Dr. Tadjuddin Chalid menunjukkan bahwa meskipun tenaga kesehatan di sana memiliki kompetensi yang cukup, mereka membutuhkan pelatihan tambahan untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan standar baru. Ini menunjukkan bahwa keberhasilan KRIS tidak hanya tergantung pada infrastruktur, tetapi juga pada kesiapan manusia yang menggerakkannya.

Tidak kalah penting adalah bagaimana masyarakat merespons kebijakan ini. Bagi sebagian orang, KRIS adalah janji tentang keadilan yang telah lama ditunggu. Namun, bagi yang lain, terutama mereka yang sebelumnya menikmati layanan kelas VIP, KRIS adalah ancaman terhadap kenyamanan mereka. Resistensi sosial ini tidak bisa dianggap remeh. Seperti yang dicatat oleh Pramana dan Priastuty, keberhasilan KRIS sangat bergantung pada seberapa baik pemerintah dapat menjelaskan manfaat kebijakan ini kepada masyarakat. Jika persepsi yang salah dibiarkan, KRIS akan menghadapi hambatan yang jauh lebih besar daripada yang ada di atas kertas.

Namun, meski penuh tantangan, KRIS tetap membawa harapan besar. Ia adalah kesempatan untuk memperbaiki sebuah sistem yang telah lama meminggirkan mereka yang tidak mampu. Untuk mewujudkan mimpi ini, pemerintah, rumah sakit, tenaga kesehatan, dan masyarakat harus bekerja bersama. Pemerintah perlu menyediakan dukungan finansial yang lebih besar, tidak hanya untuk rumah sakit pemerintah, tetapi juga untuk rumah sakit swasta yang menjadi bagian integral dari jaringan layanan kesehatan. Rumah sakit perlu mengadopsi teknologi manajemen tempat tidur untuk mengoptimalkan kapasitas mereka. Di sisi lain, tenaga kesehatan harus mendapatkan pelatihan yang memadai untuk menghadapi tuntutan standar baru. Dan yang tidak kalah penting, masyarakat harus diberi pemahaman yang lebih baik tentang tujuan dan manfaat KRIS.

KRIS adalah perjalanan panjang untuk meratakan tanah yang miring dalam sistem kesehatan Indonesia. Ia adalah mimpi besar yang membutuhkan keberanian, ketekunan, dan kerja sama. Seperti tanah yang perlahan diratakan, kebijakan ini membutuhkan waktu dan usaha yang tidak sedikit. Tetapi, jika berhasil, KRIS akan menjadi fondasi bagi masa depan yang lebih adil, di mana setiap orang, tanpa memandang status sosial, dapat menikmati layanan kesehatan yang layak.

Ketika tanah yang miring berhasil diratakan, ia menjadi dasar yang kokoh untuk membangun sesuatu yang lebih besar. Begitu pula dengan KRIS: ia adalah pondasi untuk sebuah bangsa yang lebih sehat, lebih adil, dan lebih bermartabat.