Oleh. DR. H. Ahyar Wahyudi, S.Kep. Ns., M.Kep., CISHR, FISQua, FRSPH, FIHFAA (Reviewer Jurnal PRAJA Observer: Jurnal Penelitian Administrasi Publik)
Pengantar: Harmoni Kekuasaan dan Luka yang Tersembunyi
Di atas panggung kehidupan, kekuasaan sering kali menari dalam irama yang penuh liku. Setiap gerakan, setiap langkah, mengandung makna mendalam yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang bersedia menyingkap tabirnya. Di Indonesia, cerita tentang para pemimpin yang terdzalimi bukan sekadar lembaran sejarah, melainkan gema dari perjuangan abadi antara kekuasaan dan kebenaran. Dari perspektif ilmu administrasi, kita akan menyelami bagaimana kisah-kisah ini membentuk lanskap politik kita, memperlihatkan wajah kekuasaan yang penuh dengan warna-warni penderitaan, keberanian, dan keteguhan hati.
Megawati: Di Balik Bayang-Bayang Kesunyian
Megawati Soekarnoputri, putri sulung sang proklamator, adalah figur yang melangkah di atas jalan yang penuh dengan kerikil tajam. Di saat nama besar ayahnya mengalir dalam darahnya, Megawati harus menghadapi tembok tinggi kekuasaan yang dibangun oleh rezim Orde Baru. Dalam peristiwa yang dikenal sebagai “kuda tuli,” Megawati berdiri di hadapan kekuatan yang membisu, namun penuh ancaman. Ia terpinggirkan, disudutkan oleh kekuasaan yang tak memberi ruang bagi suara yang berbeda.
Namun, dalam keheningan itu, Megawati menemukan kekuatannya. Ia bukan hanya pewaris nama besar, tetapi juga simbol dari perlawanan yang tidak kentara, namun nyata. Dari sudut pandang ilmu administrasi, Megawati adalah contoh bagaimana pemimpin dapat menggunakan kesunyian dan penderitaan untuk membangun legitimasi yang kokoh. Ia memanfaatkan setiap luka sebagai batu pijakan, setiap air mata sebagai aliran kekuatan yang mengalir tanpa henti, membawa dirinya ke puncak kekuasaan【Weber, 1947】.
SBY: Simfoni Kesabaran di Tengah Badai
Susilo Bambang Yudhoyono, atau yang akrab disapa SBY, adalah seorang maestro dalam mengolah rasa dan menata langkah di tengah badai politik yang menderu. Ketika bayang-bayang kekuasaan menjulur, SBY tidak melawan dengan keras, tetapi memilih untuk memainkan simfoni kesabaran. Ia menahan diri, menundukkan kepala, namun tidak pernah kalah oleh angin kencang yang mencoba meruntuhkan dirinya.
SBY memahami bahwa dalam diam, ada kekuatan yang lebih besar daripada suara yang menggelegar. Ia menciptakan citra seorang pemimpin yang tidak mudah tergoda oleh godaan kekuasaan yang keras, tetapi lebih memilih jalur yang penuh pertimbangan dan kebijaksanaan. Dalam pandangan ilmu administrasi, SBY menunjukkan bahwa kepemimpinan tidak selalu tentang kekuatan fisik atau verbal, tetapi juga tentang seni mengelola persepsi, mengubah badai menjadi angin sepoi-sepoi yang mendukung langkahnya menuju puncak【Burns, 1978】.
Jokowi: Harmoni Kesederhanaan dan Kedalaman Jiwa
Joko Widodo, yang lebih dikenal dengan nama Jokowi, adalah tokoh yang mampu mengubah arus dengan kesederhanaannya. Ia bukanlah sosok yang menonjolkan diri sebagai pemimpin yang megah, tetapi sebagai pria biasa yang rela masuk ke got untuk membersihkan saluran air bersama rakyatnya. Dalam setiap langkahnya, Jokowi menyampaikan pesan bahwa kekuasaan bukanlah tentang kemegahan, tetapi tentang kedekatan dan kesederhanaan.
Jokowi, dalam perspektif ilmu administrasi, mengajarkan bahwa pemimpin yang sejati tidak harus berdiri di atas menara gading, tetapi bisa berjalan di tengah-tengah rakyatnya, merasakan setiap denyut nadi kehidupan yang mereka alami. Kesederhanaan yang ia tampilkan bukan sekadar gaya, tetapi sebuah strategi untuk membangun jembatan kepercayaan antara dirinya dan rakyat. Ini adalah kepemimpinan yang dibangun di atas landasan keikhlasan dan integritas, yang menggema dalam hati setiap orang yang melihatnya【Burns, 1978】.
Ahok: Tegasnya Suara yang Terdengar di Tengah Keheningan
Basuki Tjahaja Purnama, atau Ahok, adalah sosok yang tak pernah ragu untuk berbicara keras di tengah keheningan yang mengancam. Ia adalah suara yang memecah kesunyian, menggugah mereka yang terlelap dalam kenyamanan palsu. Ketika tuduhan menistakan agama datang, Ahok berdiri tegak, tidak gentar menghadapi badai yang datang menerpa. Ia tahu bahwa kebenaran tidak selalu diterima dengan mudah, tetapi ia tetap berjuang untuk itu, meskipun harus dibayar dengan kebebasannya.
Dari perspektif ilmu administrasi, Ahok menunjukkan bahwa kadang-kadang, pemimpin harus berani berdiri di atas prinsip, bahkan ketika dunia di sekitarnya runtuh. Ia menggunakan penderitaan dan penindasan yang dialaminya sebagai bukti bahwa dirinya adalah pemimpin yang tidak hanya berkuasa, tetapi juga bertanggung jawab atas kebenaran yang ia percayai. Ini adalah kepemimpinan yang dibentuk oleh api, ditempa oleh penderitaan, dan akhirnya menjadi terang yang memandu banyak orang【Griffin, 1991】.
Terdzalimi: Simbol Kekuasaan yang Mendalam
Dalam setiap cerita tentang pemimpin yang terdzalimi, kita melihat pola yang serupa: mereka yang bertahan di tengah kesulitan sering kali muncul sebagai figur yang lebih kuat dan lebih dihormati. Fenomena ini bukanlah kebetulan, tetapi bagian dari strategi yang sangat terukur dalam ilmu administrasi. Ketika seorang pemimpin berhasil mengolah narasi penderitaan menjadi kisah tentang keberanian dan keteguhan hati, ia tidak hanya mendapatkan simpati, tetapi juga membangun legitimasi yang sulit untuk digoyahkan.
Namun, kita juga harus menyadari bahwa narasi ini bukan tanpa risiko. Ketika penderitaan digunakan sebagai alat politik, ada bahaya bahwa ia bisa berubah menjadi manipulasi yang berujung pada hilangnya kepercayaan. Dalam setiap tindakan, pemimpin harus memastikan bahwa narasi yang mereka bangun bukan hanya retorika, tetapi mencerminkan kebenaran yang sejati, sehingga kepercayaan yang diberikan oleh rakyat tidak hilang【Weber, 1947】.
Perspektif Ilmu Administrasi: Seni Memimpin dengan Luka
Dari perspektif ilmu administrasi, kepemimpinan yang efektif bukan hanya tentang membuat keputusan yang tepat, tetapi juga tentang mengelola persepsi dan narasi. Seorang pemimpin yang bijaksana tahu bahwa di balik setiap luka, ada pelajaran yang bisa digunakan untuk memperkuat kekuasaan. Namun, luka tersebut harus dijahit dengan benang kejujuran dan integritas, sehingga tidak menjadi infeksi yang merusak tubuh kekuasaan itu sendiri.
Pemimpin yang hebat adalah mereka yang mampu melihat di balik penderitaan, yang tidak hanya merasakan luka, tetapi juga menggunakan luka itu untuk memahami dan mendekati rakyat mereka. Mereka tahu bahwa kekuasaan sejati tidak datang dari ketakutan atau dominasi, tetapi dari cinta dan pengertian yang tulus. Seperti embun pagi yang mendinginkan tanah yang panas, kepemimpinan yang dibangun di atas dasar kasih sayang akan selalu membawa kesejukan dan kedamaian【Burns, 1978】.
Kesimpulan: Cahaya di Tengah Kegelapan
Dalam bayang-bayang kekuasaan, kita sering kali melihat kilatan cahaya yang muncul dari tempat yang tak terduga. Kisah tentang pemimpin yang terdzalimi bukan hanya cerita tentang penderitaan, tetapi juga tentang kekuatan yang muncul dari dalam diri. Dalam setiap langkah yang mereka ambil, ada pelajaran yang bisa kita petik: bahwa kekuasaan bukan tentang menguasai orang lain, tetapi tentang menguasai diri sendiri.
Seperti fajar yang perlahan menyingsing di balik gunung, kepemimpinan yang sejati akan selalu muncul di tengah kegelapan, membawa harapan dan terang bagi mereka yang membutuhkan. Dan pada akhirnya, sejarah akan mencatat bukan hanya mereka yang berkuasa, tetapi juga mereka yang dengan tulus melayani, meskipun harus menanggung beban yang berat di pundak mereka.
Referensi:
- Burns, J. M. (1978). Leadership. Harper & Row.
- Griffin, R. (1991). The Nature of Fascism. Routledge.
- Weber, M. (1947). The Theory of Social and Economic Organization. Free Press.