Social Climber: Fenomena, Penyebab, dan Dampaknya pada Masyarakat Modern

Pendahuluan

Fenomena social climber telah menjadi topik hangat dalam kajian sosiologi dan psikologi. Istilah ini merujuk pada perilaku individu yang berusaha memanipulasi status sosialnya agar diterima dalam kelompok sosial yang lebih tinggi. Dalam konteks masyarakat modern, social climber sering kali diidentifikasi melalui gaya hidup yang mencolok dan usaha untuk selalu terlihat berada di lingkaran elit sosial. Penelitian ini berusaha untuk menggali lebih dalam mengenai karakteristik, faktor penyebab, dan dampak dari perilaku social climber, baik dari perspektif psikologi Barat maupun tasawuf.

Pengertian Social Climber

Social climber berasal dari kata social climbing yang berarti mobilitas sosial vertikal naik. Istilah ini mengacu pada usaha individu untuk meningkatkan status sosialnya melalui berbagai cara, baik yang positif maupun negatif. Menurut Permatasari (2017), social climber adalah seseorang yang menginginkan pengakuan yang lebih tinggi dari yang sebenarnya terhadap status sosialnya​(9789-34827-1-PB)​. Sementara itu, Pembayun (2018) menyatakan bahwa social climber adalah usaha untuk memperoleh penerimaan dan posisi yang lebih baik dalam bersosialisasi.

Karakteristik Perilaku Social Climber

Menurut Jayanti (2015), ada beberapa karakteristik yang menandakan seseorang memiliki perilaku social climber, di antaranya: kebutuhan untuk selalu mengikuti tren dunia lifestyle, menggunakan barang-barang branded, dan memposting aktivitas di tempat-tempat yang dikenal sebagai pusat elit sosial . Molly Jong Fast menambahkan bahwa social climber sering kali menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya, termasuk berbohong dan memanfaatkan teman.

Faktor-Faktor Penyebab Perilaku Social Climber

Menurut Kembau (2015), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku social climber, di antaranya pertumbuhan ekonomi negara, lingkungan sosial individu, dan kebutuhan psikologis seperti afiliasi, esteem, dan aktualisasi diri . Pertumbuhan ekonomi yang pesat sering kali meningkatkan daya beli masyarakat, yang kemudian mendorong individu untuk menunjukkan status sosialnya melalui konsumsi barang-barang mewah​.​.

Perspektif Psikologi Barat

Dari sudut pandang psikologi Barat, perilaku social climber dianggap sebagai perilaku abnormal yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara Id, Ego, dan SuperEgo. Freud berpendapat bahwa social climber memiliki kontrol SuperEgo yang lemah sehingga Id mendominasi perilaku mereka, menyebabkan mereka melakukan berbagai cara untuk memuaskan keinginan mereka . Menurut Zakiah Darajat, orang dengan gangguan mental sering kali cemas, tidak bahagia, dan memiliki sifat sombong serta suka berbohong.

Perspektif Tasawuf

Dalam perspektif tasawuf, social climber dipandang sebagai penyakit hati yang disebabkan oleh nafs ammarah, yaitu dorongan nafsu yang tidak terkendali. Seseorang yang terobsesi dengan duniawi dan memiliki sifat riya’ cenderung menjadi social climber . Tasawuf menekankan pentingnya spiritualitas dan hubungan yang baik dengan Allah untuk mengendalikan hawa nafsu dan menghindari perilaku yang merugikan diri sendiri dan orang lain.

Dampak Perilaku Social Climber

Perilaku social climber memiliki dampak negatif baik bagi individu maupun masyarakat. Individu yang menjadi social climber sering kali mengalami stres dan tekanan untuk selalu tampil sempurna. Mereka juga rentan terhadap gangguan mental seperti kecemasan dan depresi . Di sisi lain, masyarakat yang didominasi oleh perilaku social climber akan mengalami ketidakstabilan sosial, di mana nilai-nilai materialisme dan individualisme semakin menguat​.

Kesimpulan

Fenomena social climber merupakan cerminan dari kompleksitas masyarakat modern yang dipengaruhi oleh faktor ekonomi, sosial, dan psikologis. Dari perspektif psikologi Barat, perilaku ini disebabkan oleh ketidakseimbangan antara Id, Ego, dan SuperEgo, sementara dalam tasawuf, perilaku ini adalah akibat dari dominasi nafs ammarah. Untuk mengatasi perilaku social climber, diperlukan pendekatan yang holistik yang melibatkan peningkatan kualitas spiritualitas dan pengendalian diri.

Refleksi dan Kebijaksanaan Filsuf

Dalam merenungi fenomena social climber, kita dapat merujuk pada kebijaksanaan dari Socrates yang mengatakan, Kebahagiaan sejati bukanlah terletak pada kepemilikan materi, melainkan pada kedamaian batin dan kebijaksanaan hidup. Filsuf Yunani ini mengajarkan bahwa kehidupan yang bermakna adalah kehidupan yang dijalani dengan kebajikan dan kesederhanaan. Dengan memahami dan mengamalkan nilai-nilai ini, kita dapat menghindari godaan untuk menjadi social climber dan menemukan kebahagiaan sejati yang berasal dari dalam diri kita sendiri.

Ref.

  1. Darajat, Z. (1983). Kesehatan Mental. Jakarta: Gunung Agung.
  2. Jong-Fast, M. (2011). The Social Climber’s Handbook. New York: Villard Books.
  3. Kembau, E. (2015). Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Perilaku Konsumtif. Jurnal Ekonomi, 2(1), 2-5.
  4. Permatasari, U. (2017). Komunikasi Interpersonal dalam Dramaturgi Pribadi Social Climber pada Kelompok Pergaulan di Kemang Jakarta Selatan. Skripsi Program Studi Ilmu Hubungan Masyarakat, Universitas Esa Unggul.
  5. Soekanto, S. (2013). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.